Mereka sering tampil dengan atribut militan: baret hitam, seragam loreng, hingga ikat kepala bertuliskan kalimat tauhid. Dalam sejumlah aksi, mereka menyebut diri sebagai "penerus Sabilillah" --- namun dalam praktiknya, mereka lebih dikenal melalui aksi-aksi demonstrasi dan insiden bentrok dengan pihak aparat maupun kelompok lain.
Di Pemalang (2025), sekelompok orang dengan atribut PWI--LS dilaporkan bentrok dengan aparat saat unjuk rasa yang berubah menjadi anarkis. Di Tegal (2024), ada laporan penganiayaan oleh kelompok serupa terhadap warga karena "sengketa informasi publik".
Saya mencoba menelusuri---apa ada catatan mereka terjun dalam kebencanaan?
Hasilnya nihil.
Tak ada data yang mendukung peran sosial mereka dalam bentuk yang terukur. Bahkan sekelas dapur umum pun tak tercatat. Yang ada justru rekam jejak aksi sweeping, pemalakan toko, bahkan penganiayaan terhadap sesama warga sipil.
Jika Kemanusiaan Bisa Diukur
Berikut rangkuman hasil perbandingan berdasarkan laporan media, NGO, dan wawancara lapangan:
Kita Butuh Ormas yang Mau Kotor di Lumpur
Saya tidak membela siapa-siapa. Tapi saya tahu siapa yang datang lebih dulu saat banjir menggenang.
Saat warga kehilangan rumah karena puting beliung, bukan laskar PWI--LS yang datang membawa selimut dan nasi bungkus.
Bukan mereka yang mencangkul tanah Aceh yang amis darah dan bau mayat menyengat.
Bukan mereka yang menyisir korban di Palu atau Lombok.
Yang datang adalah yang sering kita tuduh keras, ekstrim, bahkan radikal: FPI.
Saya tidak bilang FPI suci. Mereka punya catatan kelam, dan itu harus diadili hukum. Tapi kalau bicara soal aksi kemanusiaan, kita juga tak bisa menutup mata.
Penutup: Menjaga Warisan Bung Karno
Bung Karno bilang perjuangan kita lebih berat karena menghadapi saudara sendiri. Tapi ia tak pernah bilang kita boleh saling menuding tanpa data.