Mereka tidak bicara karbon. Mereka bicara warisan dan luka
Oleh: Mahar Prastowo
BRAZZAVILLE, KONGO ---
Bukan di Davos. Bukan pula di New York. Para penjaga terakhir paru-paru dunia justru berkumpul di Brazzaville, ibu kota kecil di Republik Kongo. Tidak ada lobi mewah. Tidak ada dasi. Tidak ada jargon "net zero" yang biasa jadi menu makan siang para pemimpin dunia. Yang ada: suara dari hutan. Dari akar. Dari mereka yang, selama ini, justru dianggap "penghalang" pembangunan.
Delegasi dari Amazon, Kongo, Kalimantan, hingga Mesoamerika bertemu untuk pertama kalinya dalam First Global Congress of Indigenous Peoples and Local Communities from the Forest Basins. Indonesia mengirim 22 orang. Di antaranya, Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi. Mereka datang bukan untuk memamerkan statistik. Mereka datang membawa luka.
"Kalau terlalu banyak beban administrasi, itu sama saja kita sedang 'menyumbat' penjaga bumi," ujar Rukka di podium Brazzaville, kalimatnya pelan tapi menohok.
Di ruangan itu, tak ada suara pendingin ruangan. Tapi semua tampak hangat. Mereka tidak datang membawa proposal proyek, tetapi membawa pertanyaan yang menggantung selama puluhan tahun: kenapa justru yang paling menjaga bumi malah paling sedikit didengar?
Kita Punya Data