Mohon tunggu...
Mahar Prastowo
Mahar Prastowo Mohon Tunggu... Ghostwriter | PR | Paralegal

Praktisi Media, PR, Ghotswriter, Paralegal. Pewarta di berbagai medan sejak junior sekira 31 tahun lalu. Terlatih menulis secepat orang bicara. Sekarang AI ambil alih. Tak apa, bukankah teknologi memang untuk mempermudah? Quotes: "Mengubah Problem Menjadi Profit" | https://muckrack.com/mahar-prastowo/articles

Selanjutnya

Tutup

Nature

Penjaga Terakhir Hutan Dunia Bertemu di Kongo

30 Mei 2025   15:56 Diperbarui: 30 Mei 2025   15:19 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hutan tropis. (foto:Three Basins Summit)

Mereka tidak bicara karbon. Mereka bicara warisan dan luka

Oleh: Mahar Prastowo

BRAZZAVILLE, KONGO ---

Bukan di Davos. Bukan pula di New York. Para penjaga terakhir paru-paru dunia justru berkumpul di Brazzaville, ibu kota kecil di Republik Kongo. Tidak ada lobi mewah. Tidak ada dasi. Tidak ada jargon "net zero" yang biasa jadi menu makan siang para pemimpin dunia. Yang ada: suara dari hutan. Dari akar. Dari mereka yang, selama ini, justru dianggap "penghalang" pembangunan.

Delegasi dari Amazon, Kongo, Kalimantan, hingga Mesoamerika bertemu untuk pertama kalinya dalam First Global Congress of Indigenous Peoples and Local Communities from the Forest Basins. Indonesia mengirim 22 orang. Di antaranya, Sekjen AMAN, Rukka Sombolinggi. Mereka datang bukan untuk memamerkan statistik. Mereka datang membawa luka.

"Kalau terlalu banyak beban administrasi, itu sama saja kita sedang 'menyumbat' penjaga bumi," ujar Rukka di podium Brazzaville, kalimatnya pelan tapi menohok.


Di ruangan itu, tak ada suara pendingin ruangan. Tapi semua tampak hangat. Mereka tidak datang membawa proposal proyek, tetapi membawa pertanyaan yang menggantung selama puluhan tahun: kenapa justru yang paling menjaga bumi malah paling sedikit didengar?


Kita Punya Data

Sebuah studi tahun 2023 oleh Rights and Resources Initiative (RRI) menunjukkan bahwa wilayah adat yang dikelola oleh masyarakat lokal mengalami tingkat deforestasi tiga kali lebih rendah dibanding kawasan konservasi yang dikelola pemerintah atau korporasi. Data lain dari World Resources Institute menyebut: 36% dari total hutan tropis yang tersisa di dunia saat ini berada di wilayah yang dikuasai komunitas adat.

Namun, hanya 17% dari pendanaan iklim global yang dialirkan ke komunitas akar rumput. Dan hanya 1% yang langsung dikelola oleh organisasi masyarakat adat.

Komitmen iklim, ternyata, lebih banyak mampir di ruang konferensi dan halaman dokumen donor---bukan di desa-desa tempat penjaga bumi itu tinggal.


Di Mana Posisi Indonesia?

Indonesia punya lebih dari 2.300 komunitas masyarakat adat tersebar dari Aceh sampai Papua. Menurut data AMAN, luas wilayah adat di Indonesia yang telah dipetakan mencapai 21 juta hektar. Tapi yang baru diakui secara hukum? Tidak sampai 10%.

Padahal, Indonesia bukan tamu di forum ini. Kita tuan rumah yang belum mengakui dapurnya sendiri.

Rukka Sombolinggi, satu dari sedikit perempuan adat yang memimpin organisasi besar seperti AMAN, menyinggung soal beban administratif. "Komunitas kita diminta data, dokumen, laporan. Tapi dana tidak pernah sampai. Pengakuan hukum juga tidak jelas," katanya.

Ketika Perempuan Bicara... Dunia Diam Dulu

Kongres di Brazzaville dibuka dengan lokakarya gerakan perempuan adat. Sebuah sinyal penting. Mereka bukan hanya pembantu program. Mereka pemilik pengetahuan. Menteri Ekonomi Kehutanan Kongo, Rosalie Matondo, bahkan menyebut, "Kepemimpinan perempuan adat adalah penyangga masa depan."

Dana sebesar US\$270.000 dari CLARIFI---mekanisme pendanaan komunitas oleh RRI---dialokasikan untuk delapan organisasi perempuan adat Afrika. Bukan jumlah besar jika dibandingkan subsidi fosil global. Tapi cukup untuk membangun kebun pangan, melatih regenerasi tanah, dan menghidupkan kembali budaya yang hampir punah.

 Hutan Tak Butuh Penyelamat. Hutan Butuh Pengakuan

"COP30 nanti di Brasil, kami ingin duduk di meja pengambilan keputusan. Bukan jadi penonton atau penghibur," kata Juan Carlos Jintiach, Sekjen Global Alliance of Territorial Communities (GATC), sambil menggenggam sebuah tongkat kayu ukiran khas Amazon.

GATC bukan organisasi kecil. Mereka mewakili 35 juta orang di 24 negara, menjaga 958 juta hektar hutan. Hampir dua kali luas Indonesia. Tapi tetap saja, dalam dokumen kebijakan dunia, mereka sering hanya disebut "stakeholder tambahan".

Levi Sucre Romero, pemimpin adat Bribri dari Kosta Rika, bicara dengan wajah keras:

"Kita tidak minta keistimewaan. Kita hanya minta diakui sebagai pemilik rumah yang sekarang kalian klaim sebagai aset karbon."


Lalu Apa Isi Kongres Itu?

Selama lima hari, mereka tidak sekadar pidato. Ada sesi khusus pemuda, perempuan, dan kelompok kerja tematik tentang pendanaan, hak wilayah, dan ancaman deforestasi.

Rencana aksi bersama sedang difinalisasi. Deklarasi Kongres akan dibawa ke COP30. Tapi, seperti kata Joseph Itongwa dari Afrika Tengah: "Ini bukan soal deklarasi. Ini soal siapa yang masih akan ada di hutan ketika konferensi sudah bubar."

Penutup: Sebuah Paradoks

Kita hidup di zaman ketika satelit bisa memotret luas hutan setiap menit, tapi tak bisa melihat air mata perempuan adat yang kehilangan pohon nenek moyangnya.

Masyarakat adat menjaga bumi bukan karena proyek. Tapi karena mereka tidak punya bumi lain. Ketika kita bicara target emisi 2030 atau 2050, mereka bicara anak dan cucu yang tak bisa lagi menumbuhkan sagu atau menemukan sungai keramat.

Di Brazzaville pekan ini, bumi kembali bicara. Kali ini dalam bahasa perempuan adat.

Kita hanya perlu mendengar.

Tingkat Deforestasi Global (infografis: Mahar) 
Tingkat Deforestasi Global (infografis: Mahar) 

Data:

1. Tingkat Deforestasi Global Berdasarkan Pengelola Wilayah (2023):
    Wilayah Adat: 0,3%
    Konservasi Pemerintah: 0,9%
    Konsesi Industri: 2,1%

2. Distribusi Dana Iklim Global (2022):
    Pemerintah Nasional: 42%
    LSM & Organisasi Internasional: 37%
    Komunitas Adat Langsung: 1%

3. Sebaran Wilayah Adat yang Telah Diakui di Indonesia (2024):
    Dipetakan: 21 juta ha
    Diakui Hukum: 1,8 juta ha


[mp]

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun