Mohon tunggu...
Mahar Prastowo
Mahar Prastowo Mohon Tunggu... Ghostwriter | PR | Paralegal

Praktisi Media dan co-PR -- Pewarta di berbagai medan sejak junior sekira 31 tahun lalu. Terlatih menulis secepat orang bicara. Sekarang AI ambil alih. Tak apa, bukankah teknologi memang untuk mempermudah? Quotes: "Mengubah Problem Menjadi Profit" https://muckrack.com/mahar-prastowo/articles

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tanah, Lurah, dan Mahkamah Agung

1 Mei 2025   20:43 Diperbarui: 1 Mei 2025   20:43 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (ai/maharprastowo)

Tanah, Lurah, dan Mahkamah Agung

Oleh: Mahar Prastowo

Di Indonesia, tanah bisa lebih tajam dari belati. Bisa membuat orang kehilangan rumah. Bisa membuat lurah masuk bui. Bisa membuat anak cucu berantem. Bisa juga membuat putusan Mahkamah Agung terasa seperti kertas tak bertuan.

Dan itulah yang sedang terjadi di Bitung.

Hari Selasa lalu, ruang sidang di Pengadilan Negeri Bitung kembali panas. Mantan Lurah Girian Indah, Lintje Sanger, duduk di kursi terdakwa. Dituduh memalsukan surat tanah. Usianya 57 tahun. Dan kalau terbukti bersalah, ia akan mengakhiri masa pensiunnya di balik jeruji.

Saya mencoba memposisikan diri di kursi jaksa. Lalu di kursi hakim. Lalu di kursi para saksi. Tapi saya paling sulit duduk di posisi warga penggarap yang sudah 60 tahun tinggal di atas tanah itu, tanpa sertifikat. Mereka hidup seperti menumpang di rumah sendiri.

Yang menarik, hari itu saksi yang bicara bukan orang sembarangan. Ada Richard Lasut. Dia membawa amunisi: kutipan dari Mahkamah Agung.

Isinya? Tegas. Jelas. Tanpa tanda baca yang rumit. Bahwa PT Kinaleosan --- perusahaan yang dulu memegang Hak Guna Usaha (HGU) atas tanah seluas hampir 150 hektare di Girian Weru --- sudah melepas hak itu sejak lama.

Artinya: tanah itu sekarang milik negara. Bukan milik siapa-siapa. Tapi juga bukan milik siapa saja. Negara yang pegang kendali. Kantor Pertanahan Negara Kota Bitung yang berwenang.

Tapi, seperti sering terjadi di negeri ini, status "Tanah Negara Bebas" bukan berarti bebas dari masalah. Justru malah jadi rebutan.

Sebab begitu PT Kinaleosan melepas haknya, orang-orang datang. Entah dari mana. Dengan surat. Dengan stempel. Dengan sejarah. Bahkan dengan saksi-saksi dari masa lalu.

Salah satunya: Hasan Saman dan Jaria Elias. Nama-nama yang nyaris tak dikenal di Jakarta. Tapi di Bitung, mereka sudah menggarap tanah itu sejak tahun 1958. Ketika Indonesia masih muda. Ketika Soekarno belum bicara Ganyang Malaysia.

Richard Lasut mengaku mendapat kuasa dari keluarga penggarap itu. Ia berdiri di sidang bukan membawa uang, tapi membawa waktu. Enam puluh tahun penguasaan fisik atas tanah itu. Lebih kuat dari surat, katanya. Dan itu ada dasar hukumnya.

Saya buka kembali Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Juga Permen Agraria Nomor 3 Tahun yang sama. Isinya menarik: kalau ada orang yang sudah menggarap tanah selama 20 tahun tanpa putus, dan tidak diganggu siapa-siapa, maka ia bisa minta legalisasi.

Cukup dengan dua saksi. Kepala lingkungan. Dan lurah.

Tapi di sinilah masalahnya. Lurah yang seharusnya memverifikasi --- justru jadi terdakwa. Lintje Sanger dituduh mengeluarkan surat tanah atas nama yang tidak seharusnya. Bukan kepada penggarap asli. Melainkan kepada pihak lain.

Siapa pihak lain itu? Belum disebut. Mungkin di sidang berikutnya.

Tapi ini bukan sekadar soal legalitas. Ini soal moralitas. Kalau betul Hasan Saman dan Jaria Elias menggarap sejak 1958 --- dan lurah tahu --- mengapa justru orang lain yang disertifikasi?

Saya tidak ingin jadi jaksa. Tapi saya juga tak bisa memaafkan pejabat yang bermain-main dengan surat tanah. Karena di daerah, surat tanah adalah segalanya. Bisa digadaikan. Bisa diwariskan. Bisa jadi tiket masuk politik.

Lintje Sanger tentu tidak sendiri. Di banyak daerah, kasus serupa muncul. Tanah negara yang tidak diurus berubah jadi tanah orang kuat. Tanah penggarap yang tak bersuara berubah jadi milik mafia bersurat lengkap.

Saya ingat, dulu Presiden Jokowi bicara reforma agraria. Sertifikasi massal. Redistribusi lahan. Tapi itu hanya akan berhasil jika di bawah tidak ada "Lintje-Lintje" lain.

Sidang ini belum usai. Tapi dari kursi pengamat, saya sudah bisa menebak: akan banyak kejutan.

Karena di Indonesia, tanah bukan hanya persoalan permukaan bumi. Tapi juga lubuk hati manusia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun