Mohon tunggu...
Mahar Prastowo
Mahar Prastowo Mohon Tunggu... Ghostwriter | PR | Paralegal

Praktisi Media dan co-PR -- Pewarta di berbagai medan sejak junior sekira 31 tahun lalu. Terlatih menulis secepat orang bicara. Sekarang AI ambil alih. Tak apa, bukankah teknologi memang untuk mempermudah? Quotes: "Mengubah Problem Menjadi Profit" https://muckrack.com/mahar-prastowo/articles

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Tanah, Lurah, dan Mahkamah Agung

1 Mei 2025   20:43 Diperbarui: 1 Mei 2025   20:43 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (ai/maharprastowo)

Sebab begitu PT Kinaleosan melepas haknya, orang-orang datang. Entah dari mana. Dengan surat. Dengan stempel. Dengan sejarah. Bahkan dengan saksi-saksi dari masa lalu.

Salah satunya: Hasan Saman dan Jaria Elias. Nama-nama yang nyaris tak dikenal di Jakarta. Tapi di Bitung, mereka sudah menggarap tanah itu sejak tahun 1958. Ketika Indonesia masih muda. Ketika Soekarno belum bicara Ganyang Malaysia.

Richard Lasut mengaku mendapat kuasa dari keluarga penggarap itu. Ia berdiri di sidang bukan membawa uang, tapi membawa waktu. Enam puluh tahun penguasaan fisik atas tanah itu. Lebih kuat dari surat, katanya. Dan itu ada dasar hukumnya.

Saya buka kembali Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Juga Permen Agraria Nomor 3 Tahun yang sama. Isinya menarik: kalau ada orang yang sudah menggarap tanah selama 20 tahun tanpa putus, dan tidak diganggu siapa-siapa, maka ia bisa minta legalisasi.

Cukup dengan dua saksi. Kepala lingkungan. Dan lurah.

Tapi di sinilah masalahnya. Lurah yang seharusnya memverifikasi --- justru jadi terdakwa. Lintje Sanger dituduh mengeluarkan surat tanah atas nama yang tidak seharusnya. Bukan kepada penggarap asli. Melainkan kepada pihak lain.

Siapa pihak lain itu? Belum disebut. Mungkin di sidang berikutnya.

Tapi ini bukan sekadar soal legalitas. Ini soal moralitas. Kalau betul Hasan Saman dan Jaria Elias menggarap sejak 1958 --- dan lurah tahu --- mengapa justru orang lain yang disertifikasi?

Saya tidak ingin jadi jaksa. Tapi saya juga tak bisa memaafkan pejabat yang bermain-main dengan surat tanah. Karena di daerah, surat tanah adalah segalanya. Bisa digadaikan. Bisa diwariskan. Bisa jadi tiket masuk politik.

Lintje Sanger tentu tidak sendiri. Di banyak daerah, kasus serupa muncul. Tanah negara yang tidak diurus berubah jadi tanah orang kuat. Tanah penggarap yang tak bersuara berubah jadi milik mafia bersurat lengkap.

Saya ingat, dulu Presiden Jokowi bicara reforma agraria. Sertifikasi massal. Redistribusi lahan. Tapi itu hanya akan berhasil jika di bawah tidak ada "Lintje-Lintje" lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun