Oleh: Mahar Prastowo
Saya terhenyak melihat angka ini: gerai Indomaret lebih banyak 3.231 unit dari Alfamart, tapi justru aset dan labanya jauh lebih kecil. Dari segi jumlah toko, Indomaret menaklukkan. Tapi dari sisi cuan, Alfamart yang pesta.
Kita lihat datanya.
Per 2024, Indomaret mengelola 22.869 gerai, sementara Alfamart "hanya" 19.638 gerai. Tapi total aset Alfamart: Rp38,79 triliun --- hampir dua kali lipat aset Indomaret yang "cuma" Rp21,35 triliun.
Laba usahanya?
Indomaret: Rp1,16 triliun.
Alfamart: Rp4,07 triliun.
Selisihnya lebih dari 3 kali lipat. Dan laba bersih tahunan pun begitu: Alfamart meraup Rp3,22 triliun, sementara Indomaret hanya Rp1,09 triliun. Maka wajar jika Djoko Susanto kini masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia versi Forbes. Meski dulu ia hanya bermitra sebagai pemilik toko distribusi rokok bersama Salim Group.
Apa yang salah dari Indomaret?
Atau lebih tepatnya: apa yang benar dari Alfamart?
Saya menduga, Alfamart lebih disiplin pada efisiensi. Ia tidak mengejar jumlah toko sebanyak-banyaknya. Ia memilih lokasi yang padat namun efisien dari sisi logistik dan konsumsi. Sementara Indomaret, seperti ditulis dalam banyak laporan keuangan, lebih agresif dalam ekspansi --- bahkan hingga ke desa-desa yang belum tentu menguntungkan.
Saya juga menemukan bahwa biaya promosi Indomaret secara tahunan jauh lebih besar dibanding Alfamart. Bahkan, kata seorang teman yang mantan manajer logistik, banyak gerai Indomaret di daerah justru disubsidi silang oleh gerai yang performanya bagus. Ini cara lama. Cara zaman Orde Baru.
Sementara Alfamart memilih tumbuh perlahan, pasti, dan menguntungkan.
Ada hal lain: Alfamart tidak sendiri. Ia bersinergi dengan Alfamidi --- yang berkonsep semi supermarket. Lalu ada Lawson yang dikelolanya di bawah lisensi Jepang. Ini strategi vertikal yang menguasai segmen dari bawah hingga menengah atas.