"Bank DKI itu aset kita, milik Pemda. Ini BUMD yang tiap tahun kasih dividen tertinggi untuk DKI Jakarta," katanya. "Jangan digerogoti karena emosi sesaat."
Sayangnya, emosi publik lebih cepat menyebar daripada pernyataan pers. Dan di sinilah Bank DKI belajar satu hal: kepercayaan publik lebih mudah hilang daripada dana nasabah.
MENGAPA BANK DKI BERGANTUNG PADA BNI?
Ini pertanyaan yang akhirnya muncul di ruang-ruang audit dan meja wartawan.
Jawabannya sederhana: karena Bank DKI belum sepenuhnya mandiri di jalur transaksi antarbank. Untuk transfer off-us (antarbank), ia masih bergantung pada rekening penampung di bank nasional seperti BNI. Ini bukan ilegal, bukan pula keliru. Tapi saat sistem di Bank DKI bermasalah, dan sinkronisasi dengan BNI ikut terganggu, maka efek domino pun terjadi.
Dari segi teknis, ini soal pooling account---rekening penampung transaksi antarbank. Tapi dari segi reputasi, ini pukulan telak. Tidak banyak nasabah yang memahami istilah itu. Yang mereka tahu, uang mereka "hilang."
PRAMONO ANUNG BERTINDAK
Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, tidak tinggal diam. Di tengah suasana Lebaran, ia langsung memanggil direksi Bank DKI dan memerintahkan dua hal:
1. Pastikan dana nasabah aman.
2. Evaluasi menyeluruh sistem dan manajemen.
Tak lama kemudian, Direktur IT Bank DKI, Amirul Wicaksono, dicopot. Dan laporan resmi pun masuk ke Bareskrim Polri. Bukan untuk menyalahkan, tapi untuk memastikan tak ada unsur pidana, fraud, atau kelalaian sistemik yang bisa mengancam stabilitas keuangan daerah.
"Tidak ada dana nasabah yang hilang," tegas Pramono dalam konferensi pers. "Ini murni masalah teknis. Tapi saya tidak mau ini terulang."
NASABAH MULAI TENANG, TAPI LUKA MASIH ADA
Kini, layanan sudah perlahan pulih. Transfer antarbank mulai kembali normal. QRIS sudah mulai bisa digunakan kembali. Bahkan saldo yang sempat tertahan pun sudah masuk ke rekening tujuan.
Tapi luka itu masih ada. Sebagian nasabah mengaku mulai kehilangan kepercayaan. Apalagi Bank DKI pernah mengalami gangguan serupa tahun lalu. Ini seperti trauma yang belum sempat sembuh, lalu kambuh lagi.
Komisi B DPRD DKI menyarankan: audit eksternal, rotasi direksi, peningkatan kapasitas BI-FAST, dan penguatan sistem deteksi gangguan secara real-time. Bank DKI mengangguk. Tapi mereka tahu, bukan hanya sistem yang harus dibenahi, melainkan hubungan dengan publik yang harus dipulihkan.