Mohon tunggu...
Mahar Prastowo
Mahar Prastowo Mohon Tunggu... Ghostwriter | PR | Paralegal

Praktisi Media dan co-PR -- Pewarta di berbagai medan sejak junior sekira 31 tahun lalu. Terlatih menulis secepat orang bicara. Sekarang AI ambil alih. Tak apa, bukankah teknologi memang untuk mempermudah? Quotes: "Mengubah Problem Menjadi Profit" https://muckrack.com/mahar-prastowo/articles

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Teror Bicara Lebih Keras dari Kebenaran

25 Maret 2025   11:01 Diperbarui: 25 Maret 2025   11:01 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketua Umum PJS Mahmud Marhaba (foto.ist)


Semua orang tahu. Menjadi wartawan itu bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi kalau urusannya menyentuh kekuasaan atau bisnis besar. Tapi, siapa sangka, di era serba digital ini, cara lama yang menjijikkan masih digunakan untuk membungkam kebenaran.

Paket kepala babi tanpa telinga. Lalu enam bangkai tikus yang dipenggal. Ditujukan ke meja redaksi Tempo. Nama Francisca Christy Rosana tertera jelas sebagai penerimanya. Dia wartawan yang dikenal kritis. Apakah ini kebetulan? Tentu tidak.

Ketua Umum Pro Jurnalismedia Siber (PJS) Mahmud Marhaba langsung bersuara. Tegas. Tak ada basa-basi. "Ini bentuk teror nyata terhadap kebebasan pers," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Senin (24/03/2025).

Tidak ada alasan untuk membenarkan aksi itu. Bukan hanya soal ancaman fisik, tapi juga pesan yang tersirat di baliknya: Jangan macam-macam dengan yang berkuasa.

Tak Ada Ruang untuk Ketakutan

Bagi Mahmud, kejadian ini bukan sekadar serangan terhadap Tempo. Ini serangan terhadap seluruh pers di Indonesia. "Hari ini Tempo. Besok bisa siapa saja," katanya.

DPP PJS menyampaikan empat sikap tegas. Mereka menolak semua bentuk teror, mengutuk pelaku, dan mendesak Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk bergerak cepat. Kata Mahmud, hukum tidak boleh tumpul hanya karena pelaku berlindung di balik kekuasaan.

Tapi, ada hal yang lebih menarik. Bukan hanya soal sikap keras DPP PJS, melainkan juga pengakuan dari daerah.

Jojo Rumampuk, Ketua DPD PJS Gorontalo, bicara dengan nada getir. "Kami juga pernah mengalami teror. Tapi karena media kami kecil, tak ada yang peduli," katanya.

Inilah ironi terbesar pers di daerah. Ketika ancaman datang, tak ada sorotan. Tak ada desakan publik. "Kalau Tempo saja bisa diteror seperti ini, apalagi kami?" ujar Jojo.

Teror Lama, Metode Baru

Sejarah mencatat, teror terhadap jurnalis bukan barang baru. Zaman Orde Baru, banyak wartawan yang "dihilangkan" atau dipenjara. Bedanya, saat itu kekuasaan langsung bermain. Sekarang, pelaku sering kali tak terlihat. Bersembunyi di balik topeng anonim.

Kepala babi dan bangkai tikus adalah simbol kekejian. Tapi, jangan lupa, ada teror yang lebih halus. Ancaman lewat pesan singkat. Serangan digital. Pencemaran nama baik di media sosial. Semua itu berusaha menciptakan efek yang sama: ketakutan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun