Mohon tunggu...
M Sanantara
M Sanantara Mohon Tunggu... Art Modeling

Metus Hypocrisis et Proditio. Scribere ad velum Falsitatis scindendum.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Siapa Lebih Dahulu: Aku atau Tubuhku?

13 Agustus 2025   12:17 Diperbarui: 13 Agustus 2025   12:17 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
A Silhouette of a Man Sitting Near the Sea. (Foto: Yunus Tug | Pexels)

Sebelum kita sempat mengenal nama sendiri, tubuh sudah mengajari kita lapar, haus, dan menangis. Tapi, siapakah yang datang lebih dulu: aku atau tubuhku? Pertanyaan ini telah membingungkan para filsuf sejak zaman Yunani Kuno, namun jawabannya mungkin tersembunyi di dalam pengalaman paling sunyi yang kita rasakan setiap hari.


Jejak Filsafat dari Plato ke Sartre

Sejak zaman Yunani Kuno, manusia bertanya: apakah kesadaran mendahului tubuh, atau tubuh hadir lebih dulu baru kesadaran mengikutinya? Plato membayangkan jiwa sudah ada jauh sebelum tubuh, sedangkan Aristoteles melihat jiwa sebagai bentuk yang tak terpisahkan dari jasad. Berabad kemudian, Descartes memisahkan keduanya dengan tegas---cogito ergo sum---"aku berpikir, maka aku ada." Namun, pandangan modern seperti fenomenologi Husserl dan eksistensialisme Sartre menolak pemisahan mutlak itu. Mereka memandang tubuh dan kesadaran sebagai dua sisi yang tak bisa dipisahkan, saling membentuk pengalaman hidup. Pertanyaan ini menjadi penting bukan hanya untuk filsafat, tapi juga untuk memahami "aku" yang kita perankan setiap hari.

Tubuh sebagai Ekosistem Kesadaran

Dari sudut pandang biologi, tubuh mulai berfungsi sebelum kesadaran reflektif terbentuk. Bayi merasakan lapar dan bereaksi menangis sebelum ia mampu memikirkan "aku sedang lapar." Merleau-Ponty menyebut tubuh sebagai subject of perception---subjek yang lebih dulu menyentuh dunia sebelum pikiran memaknainya. Fenomenologi menegaskan bahwa kesadaran tidak pernah berdiri di luar tubuh; ia selalu "berinkarnasi." Namun, filsafat eksistensial mengingatkan bahwa kesadaran bukanlah sekadar hasil aktivitas saraf. Sartre menilai "aku" adalah proyek yang dibentuk oleh kebebasan memilih, bukan hanya respon terhadap sinyal biologis. Jadi, jika sinyal lapar muncul sebelum "aku" sadar, itu tidak membuktikan tubuh lebih utama, melainkan menunjukkan adanya lapisan "kesadaran pra-reflektif" yang diam-diam bekerja. Pertanyaannya: apakah "aku" adalah penguasa tubuh, atau sekadar narator yang mengklaim setiap kejadian sebagai miliknya semata?

Dalam pandanganku, ada yang kusebut Ekobiotik Kesadaran: sebuah lingkaran di mana tubuh dan "aku" saling memakan dan saling melahirkan. Tubuh memberi bentuk pada kesadaran, namun kesadaran menanam benih-benih makna yang kemudian mengubah tubuh. Seperti simbiosis di hutan hujan---Microporus xanthopus mengurai kayu mati menjadi rahasia tanah, dan kayu mati itu memberi jamur napas terakhirnya. Dalam tarian ini, tidak ada penari yang benar-benar memimpin; hanya ada irama yang mengikat keduanya.

"Aku" dalam Ruang Sosial

Kesadaran "aku" tak bisa dilepaskan dari jejaring sosial yang membingkai tubuh kita. Dalam tiap interaksi, tubuh menjadi bahasa---dibaca, ditelanjangi, dan dimaknai oleh orang lain. Tubuh bukan hanya milik diri sendiri, tapi juga milik masyarakat yang mengukir batas-batasnya lewat norma dan nilai. Dalam kerumunan asing, tubuh dan identitas kita bergeser, terfragmentasi, atau bahkan diperkuat. Proses sosialisasi mengajarkan kita bagaimana "aku" harus tampil dan bertahan dalam ruang sosial yang terus berubah sepanjang zaman. Di sini, tubuh dan kesadaran menjadi dialog yang tak berujung antara individualitas dan struktur sosial.

Dialog Liris Tubuh dan Aku

Lama, aku tahu. Aku terbenam. Aku terbukur. Aku terendam tanah hitam. Lama, aku tidak tahu aku. Me-rupa apa aku tanpa pikiran yang meniup aroma hujan bercampur belerang. Aku letih menjaga batang otak seposisi mulanya. Bukan hanjuang---tapi koin-koin krusta gugur, ambruk ke segala permukaan. Sobekan almanak menumpuk di kasur, lupa cara mengenali waktu. Berapa banyak tanggal menanggalkan angka hijau dan merah demi menyambut peristiwa aku, aku yang lain. Tubuh dan aku, kami sepakat saling kenal. Belakangan, aku terkejut: tuntutan alami bagian dalam tubuhku mengumumkan bahwa "aku mesti lapar" dalam penerimaan---maka aku lapar. Seolah bukan aku yang memimpin, tapi lambung kosong yang mengirim sinyal ke seluruh jagat diriku.

Mungkin aku adalah kunang-kunang yang terperangkap dalam tubuh seperti botol kaca---sayapnya bergetar, cahayanya berkedip, tapi botol itu sendiri adalah bagian dari dirinya. Aku ingin terbang bebas, tapi setiap kepakan adalah gema dari dinding yang juga aku ciptakan.

Pertemuan yang Tak Pernah Usai

Tubuh memberi sinyal, kesadaran memberi nama. Kadang tubuh memimpin, kadang kesadaran mengarahkan, dan sering kali keduanya seperti dua pelakon yang tak pernah pasti siapa konduktornya. Mungkin benar kata Nietzsche bahwa "Aku adalah tubuhku seluruhnya, dan tidak ada yang lain." Atau mungkin "aku" hanyalah gema dari tubuh yang memanggil dirinya sendiri. Pada akhirnya, perdebatan ini bukan untuk dimenangkan, melainkan untuk dihidupi---setiap kali kita lapar, bermimpi, atau sekadar mengucap "aku si binatang jalang" (dengan lancang saya meminjam salah satu judul puisi Pujangga Chairil Anwar)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun