Mohon tunggu...
M Sanantara
M Sanantara Mohon Tunggu... Art Modeling

Metus Hypocrisis et Proditio. Scribere ad velum Falsitatis scindendum.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Telaga, Ikan Hitam, dan Kebebasan yang Hanya Ilusi

3 Agustus 2025   08:05 Diperbarui: 3 Agustus 2025   14:23 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Artikel ini bukan untuk menjawab, tapi menemani. Kalau kamu pernah merasa dunia ini terlalu rapih untuk benar-benar bebas, kita mungkin sedang berenang di telaga yang sama.


Senyum pagi menentramkan turis asing yang berlabuh di dada kiri saya. Pengembaraan bagi jiwa-jiwa yang terlanjur dilipur gelap dan lara adalah suatu horison manis penuh bebungaan pelangi. 

Lama saya tercekat oleh masa lalu. Saya kira Anda semua pun sama adanya. Kita cenderung memutar-mutar piringan kaset tanpa harus mengantri waktu untuk mempersilakan. Aneh rasanya jika harus membahas kenangan yang selalu bersifat bipolar--- dua ujung yang sama-sama menyenangkan. Proses mengingat-ngingat, menapaki , lalu turut mereka-reka bukan semata gumpalan perasaan di kepala, melainkan luruh oleh aroma hujan Agustus dan mengendap di dada, bersama batu air mata ratusan purba.

Penanda batas kerap diwakilkan melalui fisik, jiwa, ruang dan waktu dalam satu tubuh. Siapa yang mengakui batas itu? Tidak lain; kesadaran. Kesadaran adalah perangkat 'cahaya' pertama yang dibentuk oleh kekuatan Maha Agung. Dengannya, kita menjadi bisa membedakan antara kasus penipuan pengembang rumahan atas legalitas tanah, dan drama bos di kantor yang mengeruk kebebasan libur berlandaskan asas kesetiaan.

Batas dan kesadaran menjadikan kita tidak serta merta melakukan seluruh hal. Dalam kondisi itu, aktivitas menjadi terarah dan mengerucut sesuai ingin masing-masing orang. Konsekuensinya? Sedikitnya frekuensi saya dan Anda bertemu: teman dekat, sahabat, pacar, bahkan orang tua. 

Segala sesuatu yang membuat kita teratur akhirnya datang dengan ketidakteraturannya. Dan tidak disangka---ia membawa dampak yang jauh lebih menggembirakan: rindu euforia kebersamaan.

Kerumunan terasing memperoleh label identitas. Saya dan Anda merasakan hal berbeda: kerumunan hangat. Kerumunan hangat ini disatukan oleh visi, misi, dan harapan yang satu: kegembiraan batin. Beragam wadah mewadahi perasaan itu. Dan itu menjadi urusan konstruksi sosial, bukan saya.

Namun jalan keramaian pun harus siap tercerai, menjalur menjadi batang-batang sungai kecil yang beku, sunyi, dan haus rawut wajah di tepi jalan itu. Yang memilukan adalah, jika batang sungai tersembunyi, terawat manusia, tersedia kala, maka ia lebih tahan lama menemani Anda---yang barang kali ingin tenggelamkan diri dan anggaplah sudah teruji level nasional sebagai perenang handal. 

Bagaimana dengan saya? Saya tidak mungkin setia hadir menemani Anda. Daging dunia dan kematian tamu merepotkan yang bakal mengetuk pintu rumah saya. Tidak hari atau tahun-tahun mendatang. Hanya suatu ketika, saya menepati janji saya mencintai Anda---nun jauh di sana---penuh kasih dan linang harmoni cahaya-gelap.

Masa lalu, batas, kesadaran, dan keramaian---semuanya luar biasa menggumpal kecamuk di kepala, pabila akal meladeninya. Saya misalkan, kebiasaan saya dan Anda yang memikirkan orang tersayang. Saya tidak perlu susah payah menelisik dan mencari mana yang lebih dulu hadir. Karena saya dan keluarga saya tidak tahu, mengapa semesta ini harus diciptakan sebelum inti batiniah homunculus tercipta.

Ada kutipan jalanan berbunyi, "mending jadi orang gila daripada sarjana, hidupnya habis diserang akal sehat." Sejak lama saya menyadari hal itu. Orang gila, sekilas terlihat penuh kemalangan---baju compang-camping, berjalan tak tentu arah, penuh lirikan jijik dari mereka  yang mengaku sehat dan bermatabat. Namun, ada satu harta paling berharga yang ia punya, yaitu bebas dari aktivitas 'memikirkan'. Sesuatu yang bagi orang waras---makanan sehari-hari.

Berkas sinar matahari pukul sembilan pagi menerobos rambut dan terpingkal di wajah kalut saya. Di telaga ini, saya ingin berlama-lama. Memandangi derai angin yang mengelus pundak pohon asam, siul burung merak, dan tawa wisudawan yang menambah riang jendela hati saya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun