Perlu? Tidak mungkin kau jawab.
Panggung fana ini merambat diam, mencipta karat di hippocampusku. Susah payah aku menemukan sebutan yang pantas bagi manusia yang demikian. Merugi sekali mengejar standar manusia. Manusia yang, dengan rasa penasaran dan haus pencarian makna diri, seharusnya paham akan 'kuasa di luar kuasa'---yang menuntunnya untuk bergantung pada yang tersembunyi namun agung, yang selamanya menguar, setia menjaga keseimbangan dari siklus chronos dan inti kosmik.Â
Andai aku boleh harap, keras kepalalah mengejar ketuhanan meski sampai kini masihlah misteri. Karena hanya padanya, segala ketidaktahuan tahu.
Agar tampak modern, perlu aku munculkan: baru-baru ini, melimpah ruah musim orang meminjam label akademik, ahli, kebenaran, pemuka setempat---hanya demi mendorong sebuah anggapan. Membelokkan pilihan yang terang-benderang. Parahnya: menghitamkan ia.Â
Kebiasaan paling berbahaya adalah mematikan daya kritis seseorang. Setiap perbedaan pandang---alias pertanyaan---melulu dibalas dengan keterbatasan, ketidaktahuan, atau kelebihan yang menuntut pemahaman lawannya atas wilayah tak terjangkaunya, atau belas kasihan semata. Mengemis penerimaan hanya menyuburkan ladang kegelapan abadi.
Jangan kau pikir aku menulis ini tanpa tahu lebih dulu seberapa hitamnya aku. Aku pun sama seperti kebanyakan manusia lain: sungguh menyukai dosa dengan beragam bentuk kesenangan dan manfaat. Tapi selalu ada jurang di antara kita.
Mau tahu?
Aku berdosa, tersungkur untuk diriku sendiri.
Kau berdosa, dan mendosakan seluruh manusia dunia.
Pernahkah kamu merasa jiwamu tak lagi sanggup menyebut diri sebagai manusia? Atau merasa bahwa waktu dan dunia hanya alat untuk mempermainkan kesadaranmu? Tumpahkan di kolom komentar. Mari kita bercengkerama atau setidaknya saling menyayat luka lagi, Kompasianer Tercinta.
*