Sebuah pernyataan dari entitas yang muak jadi manusia, dan terlalu sadar untuk jadi Tuhan.
Apa jadinya jika manusia tak lagi ingin disebut manusia? Sebuah catatan kerasukan antara rasa bersalah, spiritualitas, dan pemberontakan terhadap absurditas hidup. Ini bukan ajaran, bukan pula pembelaan---melainkan pengakuan dari sesuatu yang pernah disebut jiwa. Bacalah perlahan, bila sempat tersesat, biarkan saja.
Cahaya lampu di pinggir jalan menerangi derap langkah manusia terasing. Sinarnya menyebar ke sekeliling, tidak ingin menghangatkan yang menepi, tetapi mendamaikan gelap. Telah kusiapkan kedua payung di mataku; kelak air matamu takkan jatuh menimpa bayanganmu sendiri yang membuat redup menjalar ke segala sisi. Meski begitu, rautmu penuh kesedihan laut. Bagaimana tidak kujerumuskan murni kasihku untuk menemani polusi jiwamu?
Aku terus memikirkan embun mengucur lambat, riak sungai, dan angin pagi yang membuatmu mencolok di lubuk kenangan. Bahasa tahu siapa dirinya melebihi pangkal lidah semua manusia munafik. Dan aku paham betul---sampai kapanpun tidak akan aku melihat dirimu dalam kalimat sempurna. Keterangan itu adalah bagian amnesiaku.Â
Semisal burung gagak malam benar nangkring di cerobong rumah terbengkalai oleh cinta dan Tuhan, maka mimpiku--- yang kau seret dalam carut marut---adalah ladang subur yang akan memelukmu menuju ketiadaan. Telah kuhancurkan dunia perasaaan. Hatiku, jauh melebihi segalanya.
Hari-hari menelanku. Mencerna pikiranku, jiwaku bertahun-tahun. Tanpa ampun, tanpa merebut paksa tai dari mencintai. Aku masih mewujud manusia, berenang dalam matematika peluang yang makin mantap mengikis keberanian untuk mengejar matahari. Tidak mungkin laut berciuman dengan langit---meski karunia dan manfaat melekat pada intinya. Aku kelelahan diterpa badai rasa kemanusiaan, mengantarnya pelan-pelan, meski harus membunuh massa gravitasi bumi.
Manusia. Aku, homunculus. Belum pernah keadilan meregukku. 'Kuasa mutlak' membutakan keberadaanku, lewat ketidakterbatasanku dalam keterbatasan mencapai alam kesadaran. Bahkan sekedar menjadi manusia, siapa yang mengizinkannya dari singgasana langit? Semua hanya berdasar kerangka bentuk yang tak bisa disangkal. Sebagaimana pun aku meronta, bengisnya ada selamanya mengurung air mata sungai---tanpa sesiapa mempersilakan seberkas sapu tangan angin.
Betapa bodohnya. Kasarnya aku. Tapi itu juga bahan puja-pujian ukuran-ukuran penyematan 'nilai otak' kepada invidu yang mengenyam bangunan pengetahuan, umpama. Betapa bodohnya. Manusia yang mempersembahkan manusia dengan menjual kemanusiaan demi manusia---yang entah, bolehkah aku ragu ia manusia?
Kewajibanku adalah memperhalus semua tulisan tidak berguna ini, walau kau baca akhirnya. Barangkali akan sampai padamu beratus tahun nanti, atau tiga puluh detik kemudian, kepada para binatang yang tersesat di persimpangan kanan jalan.
Tubuh duniaku amatlah muda, tapi jiwaku sungguh lama---miliaran abad. Ada dua manusia yang paling membuatku marah seperti kerasukan: kesombongan dan kemunafikan. Dan itu semakin tampak jelas. Salahlah aku jika menjeniskan tanpa paham betul siapa aku---yang juga manusia, yang tak sepenuhnya lepas dari waktu, iman, tubuh dunia. Namun aku boleh bilang: sekeji-kejinya perbuatan adalah sebaik-baiknya tidak sampai meniadakan napas seseorang. Dua perangai tadi adalah bahan dasar dari penghapusan napas seseorang. Perlahan. Dari kenyataan. Dari Kenyamanan. Dari seumur hidup mencintai rumah sakit jiwa, dengan resep-resep modern tentu harus dengan dosis dan petunjuk dari dokter. Tapi jangan berani menelan 1000 pil tidur sebelum kau memahami maksudku, meski terlambat sekali.
Keresahan makin menebal, aroma rokok bapakku makin menggerogoti parunya. Jenuh aku saksikan penyimpangan manusia. Tingkah yang terus menyaru. Atas nama. Atas nama adalah mainan. Atas nama menjadikan ia ulung, bukan lagi piawai. Atas nama sebercahaya, sekemilau itu, maka sekeras-kerasnyalah ia berusaha, membuang, menenggelamkan yang tak berurusan---ke dasar jurang lumpur penuh racun ular.
Perlu? Tidak mungkin kau jawab.
Panggung fana ini merambat diam, mencipta karat di hippocampusku. Susah payah aku menemukan sebutan yang pantas bagi manusia yang demikian. Merugi sekali mengejar standar manusia. Manusia yang, dengan rasa penasaran dan haus pencarian makna diri, seharusnya paham akan 'kuasa di luar kuasa'---yang menuntunnya untuk bergantung pada yang tersembunyi namun agung, yang selamanya menguar, setia menjaga keseimbangan dari siklus chronos dan inti kosmik.Â
Andai aku boleh harap, keras kepalalah mengejar ketuhanan meski sampai kini masihlah misteri. Karena hanya padanya, segala ketidaktahuan tahu.
Agar tampak modern, perlu aku munculkan: baru-baru ini, melimpah ruah musim orang meminjam label akademik, ahli, kebenaran, pemuka setempat---hanya demi mendorong sebuah anggapan. Membelokkan pilihan yang terang-benderang. Parahnya: menghitamkan ia.Â
Kebiasaan paling berbahaya adalah mematikan daya kritis seseorang. Setiap perbedaan pandang---alias pertanyaan---melulu dibalas dengan keterbatasan, ketidaktahuan, atau kelebihan yang menuntut pemahaman lawannya atas wilayah tak terjangkaunya, atau belas kasihan semata. Mengemis penerimaan hanya menyuburkan ladang kegelapan abadi.
Jangan kau pikir aku menulis ini tanpa tahu lebih dulu seberapa hitamnya aku. Aku pun sama seperti kebanyakan manusia lain: sungguh menyukai dosa dengan beragam bentuk kesenangan dan manfaat. Tapi selalu ada jurang di antara kita.
Mau tahu?
Aku berdosa, tersungkur untuk diriku sendiri.
Kau berdosa, dan mendosakan seluruh manusia dunia.
Pernahkah kamu merasa jiwamu tak lagi sanggup menyebut diri sebagai manusia? Atau merasa bahwa waktu dan dunia hanya alat untuk mempermainkan kesadaranmu? Tumpahkan di kolom komentar. Mari kita bercengkerama atau setidaknya saling menyayat luka lagi, Kompasianer Tercinta.
*
Tentang penulis:
M Sanantara, lahir di Bogor, 650 SM. Sarjana botani, penikmat dosa, lukisan impresionisme, dan berpuisi di mana saja, asal bukan di alam kubur.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI