Mohon tunggu...
Maftu KhatulLaila
Maftu KhatulLaila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Belajarlah sebelum menjadi pemimpin.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Indah tapi Tak Sempurna

8 Juni 2020   10:33 Diperbarui: 8 Juni 2020   10:54 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


(Maftu KhatulLaila)

Aku Galung, duduk di depan rumah dengan angin sepoi-sepoi di damping secangkir kopi pahit adalah salah satu rutinitas dan hobiku. Melihat tetangga yang sedang bermain dengan anaknya, tertawa riang berlarian kesana-kemari disusul sang istri yang keluar membawakan setoples makanan ringan. Senang melihat pemandangan semacam itu, terasa sejuk di hati namun ada percikan perih juga di hati yang memancing asam lambungku naik. Entah mengapa rasa lega, bahagia melebur menjadi satu dengan rasa sakit sesak didada dan lambung.Siang ini aku belum tau ingin membawa hidupku kemana, mungkin hari ini aku akan membereskan pekerjaan rumah kecuali memasak. Baik, akan ku kerjakan sekarang juga semua pekerjaan itu sebelum ashar tiba. Akhirnya pekerjaan itu selesai, badanku terasa pegal dan kusegerakan merebahkan badanku di atas lantai  tanpa alas ini. Jika sudah begini pasti pikiranku melayang. Jauh melejit aku berjalan-jalan di masalalu, mengingat semuanya mengapa bisa terjadi kepadaku. Salahkah aku dalam posisi ini ? jika bukan aku yang salah mengapa aku tidak bisa seperti kebanyakan anak di sekitarku ?

Masa kecilku sama dengan tetangga dan temanku, bermain, berlari, tertawa bersama. Namun selalu ada yang kurang di kehidupanku. Entah sejak umur berapa aku menyadari apa yang kurang di hidupku. Namun kurasa baru saja aku sadar apa yang kurang di hidupku, setiap kali aku ingat selalu saja sesak nafasku. Melihat temanku di buatkan mobil-mobilan ayahnya aku iri, ingin menangis tapi malu. Lelaki harus kuat sekuat baja, jangan cengeng seperti perempuan. Jika aku menangis siapa yang mengusap airmata ibuku ?.
Lagi-lagi aku teringat mengapa aku bisa bekerja di umur 13Tahun ini. Aku malas sekolah, entah mengapa aku tak ada niatan sekolah. Di hajar habis-habisan aku oleh tiga lelaki di rumahku, kedua pamanku dan kakekku. Aku hanya bisa menangis dan melawan semampuku saat aku di hajar. Saat itu aku berfikir apa salahku sampai di hajar begini ? memang ini mauku ? aku berhenti sekolah juga bukan mauku, aku hanya malas saja kenapa aku tidak seperti kebanyakan teman-temanku yang lain? Setiap hari sepulang sekolah aku harus mengerjakan pekerjaan rumah, jika tidak, bisa habis aku di tampar kakek. Sejak kelas 3 Sekolah Dasar aku harus mencuci bajuku sendiri. Memang enak hidup seperti ini ? aku tak tau ayahku siapa dan ibuku harus bekerja diluar Kota. Setelah kelas 4 Sekolah Dasar tiba-tiba Ibuku menikah dengan seseorang yang rumahnya jauh dari Desaku, aku menangis sejadi-jadinya. Aku tidak rela ibuku pergi bersama lelaki itu, aku tak kenal siapa dia Lelaki berkumis tinggi dan hitam.

Sering tertawa aku bila mengingat kejadian saat ibuku menikah lagi. Namun terasa perih saat ingat aku harus bekerja karena di umur 13Tahun tidak mau sekolah lagi. Itu prinsip kakekku, kamu boleh tidak sekolah asalkan kamu harus bekerja. Aku pernah bekerja di daerah Ibukota di umur 13Tahun, tanganku kasar, kulitku menghitam, kakiku mulai berotot. Ya Tuhan hidup macam apa yang aku jalani saat ini ?. Aku sudah merasakan bagaimana hidup di Ibukota, dengan makan seadanya, tidur di ruangan sempit dengan beberapa orang lainnya. Uang yang ku terima memang banyak namun, tenaga yang ku keluarkan juga tidak sedikit. Aku harus mengaduk semen, mengangkat bahan bangunan untuk membentuk sebuah bangunan rumah megah bertingkat.

Saat aku sudah lelah bekerja merantau, di umur 17Tahun aku ikut ibuku yang hidup di kota tetangga tempat asalku. Disana aku ikut ibuku berdagang sayuran dan lauk-pauk. Toko sayur ibuku berada di depan rumah. Setiap jam 3 pagi aku sudah pergi ke pasar untuk membeli sayuran segar, awalnya aku bahagia bisa membantu ibuku walaupun aku harus hidup dengan ayah dan saudara tiriku. Hidupku mulai tampak seperti kebanyakan anak di luaran sana, berjalan satu tahun aku hidup disana aku mulai sering mendengar ayah dan ibuku bertengkar. Hampir setiap pagi saat aku dan ibu akan ke pasar ayah baru masuk rumah dan itu membuat ibu naik pitam.

Seringkali ibu menangis sejadi-jadinya karena melihat kelakuan ayah tiriku. Bagaimana tidak, seorang perempuan bangun pukul tiga pagi untuk bekerja hingga sorepun masih banyak pembeli dan malamnya harus membungkus bumbu-bumbu yang akan di jual di pagi harainya lagi, namun, ayah tiriku ia berangkat memancing dari ashar hingga jam 3 pagi baru dia pulang. Perempuan mana yang sanggup melihat suaminya seperti itu hampir setiap hari. Sudah tau apa yang selalu membuat mereka bertengkar, tetapi ayah tiriku masih saja mengulangi kesalahannya. 

Aku lelah, sejak kecil ayah kandungku tidak tau dimana dan mengapa meninggalkan aku saat usiaku dua bulan di perut ibu. Aku menangis ibu dinikahi lelaki ini, aku takut hal buruk terjadi pada ibuku dan ia menangis lagi karena lelaki ini dan kini benar-benar terjadi. Aku kesal, aku lelah melihat ibu memaki ayah tiriku dan ayah tiriku beberapakali memukul ibu. Tahukah kalian, aku hanya ingin hidup tertawa bersama orang tua dan saudaraku layaknya keluarga lain di luar sana ? kejadian ini membuatku takut menikah, bagaimana jika aku tidak bisa membahagiakan wanitaku nanti? Bagaimana jika aku menjadi lelaki seperti ayahku, yang meninggalkan ibu saat masih mengandung aku? Bagaimana jika aku nanti menjadi lelaki yang selalu melampiaskan kekesalanku dengan melakukan kekerasan fisik kepada wanitaku? Entah lah yang kelihatannya indah ternyata tak selalu sempurna.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun