Kalau ada kabar reshuffle, jujur deh, kamu termasuk tim heboh atau tim "ah, biasa aja"? Soalnya tiap kali ada menteri diganti, rasanya kayak lagi nonton drama baru. Ada tokoh lama pamit, tokoh baru masuk, dan kita semua jadi penonton yang penasaran, "ceritanya bakal lebih seru atau makin ribet?"
Nah, kali ini beda. Kursi Menteri Keuangan RI, yang selama ini lekat banget sama sosok Ibu Sri Mulyani, resmi ditempati Bapak Purbaya Yudhi Sadewa. Buat saya pribadi, nama ini udah gak asing.Â
Selama satu dekade jadi jurnalis ekonomi, saya dulu cukup sering nelepon beliau. Kadang nanya pasar modal, kadang soal kurs rupiah, kadang minta proyeksi kebijakan moneter. Intinya, Pak Yudhi ini udah kayak "kontak darurat" jurnalis kalau butuh komentar ekonomi.
Dan satu hal yang selalu sama, yaitu gaya bicaranya. Beliau ini straight to the point. Track record panjang (25 tahun lebih), wara-wiri di berbagai kementerian, profesional, tapi ya... kalau ngomong, langsung tembak. Makanya gak heran kalau julukannya "ekonom koboi." Gak ada basa-basi, gak ada drama, langsung dor!
Saya juga gak kaget pas beliau baru sehari duduk di kursi Menkeu langsung jadi headline. Katanya, Kemenkeu gak bakal bikin pajak baru, cukup optimalisasi sistem pajak yang ada dan maksimalkan penerimaan dari luar pajak.Â
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, pemerintah menetapkan target penerimaan negara tahun ini mencapai RpRp3.005,1 triliun. Dari pajak sebesar Rp2.189,3 triliun, sisanya dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah.
Eh, belum semenit, langsung ngegas lagi bilang bahwa ekonomi Indonesia bisa tumbuh 8%. Duh, Pak e... ini ibaratnya Bapak baru naik pelaminan udah ngegas ngomong target 8%. Bisa direm dikit gak, Pak?Â
Soalnya, selama ini Bapak kan lebih banyak kerja di balik layar. Publik belum semua kenal gaya bapak yang blak-blakan edition. Jadinya, warganet langsung riuh. Ada yang bilang beliau kepedean, ada juga yang lebih jahat nyebut NPD (narsistik).
Halo, halo, gaes... tolong dibedain ya. Itu bukan NPD, tapi optimis. Namanya juga si koboi. Saya jadi teringat lagi serial "Lucky Luke" era 90-an di TVRI dulu. Si koboi penuh percaya diri masuk ke bar penuh penjahat sendirian. Bedanya, kalau Pak Yudhi masuk, yang ditembak bukan bandit, tapi financing gap APBN.
Ya sudah lah ya... sebagai pejabat publik, siapapun harus siap dikritisi dari segala arah. Mari kita lihat saja sepak terjang beliau ke depan.
Sekarang, agak mental dikit obrolan kita. Ingatan saya langsung mundur beberapa bulan lalu, tepatnya Juni 2025. Kala itu, Bapak Novel Baswedan muncul lagi di panggung publik.Â
Beliau muncul bukan sebagai penyidik KPK, tapi sebagai Wakil Kepala Satgassus Optimalisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). So, saya cukup excited karena sekarang Indonesia punya duet baru, yaitu "menkeu koboi" dan pejuang antikorupsi.
Duet Pak Yudhi dan Pak Novel ini menarik banget. Satu orang kuat di disiplin fiskal, satunya lagi kuat di integritas. Kalau mereka beneran sinkron, bukan gak mungkin PNBP yang selama ini bocor bisa jadi motor baru penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi 8% itu bukan isapan jempol belaka. We'll wait and see.
PR Besar Kebocoran PNBP di Indonesia
Melihat track record Pak Yudhi yang sudah malang melintang di berbagai kementerian dan lembaga ekonomi, saya jadi punya firasat (maaf kalau agak lancang), ke depan beliau bakal menaruh fokus lebih besar ke PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak).Â
Kenapa? Karena jujur aja, PNBP ini ibarat gudang uang negara yang pintunya banyak, tapi gemboknya longgar. Potensinya gede banget, tapi kebocorannya juga nggak kalah besar. Saya ambil beberapa contoh.
1. PNBP sektor sumber daya alam
Minyak dan gas kita pada tahun 2024 saja menyumbang Rp110,92 triliun. PNBP minerba melonjak signifikan dan mencatat rekor tertinggi karena menyentuh Rp170 triliun pada tahun yang sama.
Tapi coba kita lihat di lapangan! Tambang batubara, nikel, emas di Indonesia ini sering under-reporting produksi. Banyak perusahaan lapor hasilnya lebih rendah padahal realita di lapangan tidak begitu. Ingat kasus korupsi timah yang menyeret Harvey Moeis, suami Sandra Dewi? Ya, begitulah realitas di lapangan.
Belum lagi tambang-tambang ilegal yang masih banyak dan hasilnya gak masuk ke kas negara. Next, iuran hasil hutan dan pungutan perikanan rawan hilang di jalan alias tidak transparan.Â
Nah, kalau Satgassus dan Kemenkeu bisa memperketat sistem monitoring lewat digitalisasi rantai produksi dan real time tracking, lahan basah kebocoran tadi sudahlah pasti terselesaikan dengan baik.
2. Transparansi dividen BUMN
Presiden Prabowo awal tahun ini bilang, dividen BUMN bakal menyentuh angka Rp300 triliun pada 2025. Apakah memang realistis target beliau ini? Ya, menurut saya sangat realistis loh. Walaupun saya bukan ekonom, cuma mantan jurnalis, saya yakin ini sangat realistis. Kenapa?
Ya, sudah jadi rahasia umum, masih banyak tata kelola perusahaan-perusahaan BUMN kita yang kurang transparan. Yang terpantau mungkin cuma yang udah menjadi perusahaan publik alias yang melantai di bursa. Nah, yang masih private? Siapa yang tahu?
Risiko kebocoran di sini ada di potensi profit shifting, di mana keuntungan bisa mungkin dialihkan ke pos lain agar dividen yang dilaporkan kecil. Belum lagi nih ya, interventi politik dalam penetapan laba dan dividen. Harapan saya sih, Menkeu kita bisa menuntut BUMN lebih disiplin setor dividen.
3. Layanan publik yang masih rawan pungli
Direktorat Jenderal Imigrasi mencatat PNBP dari pembuatan paspor dan visa saja bisa tembus Rp8,5 triliun pada 2024. Angkanya ini bisa lebih tinggi lagi nih.
Ada juga pendapatan dari izin usaha tambang, izin usaha kehutanan, izin usaha lingkungan. Beuh, risiko kebocorannya itu ada di praktik-praktik pungutan liar di lapangan. Apalagi kalau sistem pembayarannya masih manual, peluang pungli ini terbuka lebar.
4. Pengelolaan Barang Milik Negara (BMN) kurang optimal
Banyak aset negara yang nganggur (idle), gak dimanfaatkan. Problem lainnya adalah sewa aset sering di bawah harga pasar. Pelepasan aset pun kadang penuh konflik kepentingan.
Kalau Menkeu bisa mapping ulang aset-aset negara, potensinya juga besar, mungkin puluhan triliun ada.
5. Sektor denda, sanksi, dan sitaan
Denda hukum, sitaan KPK, atau hasil perkara sering gak tercatat utuh. Larinya kemana? Ke kantong hakim, ke kantong jaksa, ke kantong-kantong gak jelas lah pokoknya. Transparansi di lembaga penegak hukum kita, sama-sama tahu lah ya, masih rendah. Nah, Pak Novel bisa dorong akuntabilitas di sektor ini.
Jadi PR utamanya ada dua, yaitu menutup kebocoran (governance dan transparansi), kemudian memperkuat sistem digital + koordinasi antar lembaga. Kalau ini bisa beres, PNBP bisa jadi "mesin penerimaan negara" yang kuat, bukan sekadar tambahan pajak.
Tahun ini, pemerintah menaikkan target PNBP dari Rp505,38 triliun pada 2024 menjadi Rp513,64 triliun. Itu kira-kira seperempat dari penerimaan negara.Â
Jujur aja, kamu pengen gak sih, penerimaan negara kita tuh jangan cuma ngandelin pajak rakyat terus? Karena kalau PNBP bisa dijaga dan disiplin keras, beban pajak gak lagi mencekik rakyat kecil dan UMKM.
Kalau kebocoran di sumber daya alam saja bisa ditekan, tambahannya puluhan triliun bisa masuk. Kalau dividen BUMN lebih disiplin setor, ratusan triliun lagi nambah. Kalau layanan publik bebas pungli, trust masyarakat juga naik.Â
Intinya, reshuffle kali ini gak bisa cuma kita lihat sebagai drama politik, siapa keluar dan siapa masuk. Lebih dari itu, ini soal taruhan besar, apakah duet integritas dan profesionalisme bisa bikin PNBP pelan-pelan naik kelas menjadi pilar APBN yang baru, bukan sekadar angka target di kertas.
Karena kalau berhasil, negara gak cuma hidup dari pajak rakyat. Rakyat bisa bernapas lebih lega dan mimpi Indonesia Emas 2045 bisa punya fondasi lebih nyata.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI