Pernah gak sih kamu nonton pidato pejabat, lalu merasa capek bukan karena isi kebijakannya, tapi karena cara ngomongnya yang bikin bingung? Kalimatnya panjang, berputar-putar, penuh istilah teknis, tapi setelah sejam pun dia berpidato, kamu tetap mikir, "Sebenernya dia barusan ngomong apa, ya?"
Saya menyebutnya mic check syndrome. Kalau di acara konser nih, mic check itu biasanya "check... one, two, three, ... testing..." Itu saja terus diulang, tidak ada makna. Nah, pejabat kita sering terjebak di situ. Mereka bicara panjang lebar, tapi tidak ada pesan inti yang bisa dibawa pulang pendengar.
Selama 10 tahun jadi jurnalis ekonomi dan lingkungan, saya sudah sering keliling liputan dari kantor-kantor kementerian sampai lapangan tambang, gedung-gedung dan tower perbankan, seminar di hotel mewah sampai peresmian hutan desa di pedalaman.Â
Jujur saja, saya cukup sering kesulitan mencari inti pidato beberapa nama pejabat. Dari 20 menit pidato, sering kali tak ada satu kalimat pun yang layak kutip karena semuanya hambar dan penuh jargon. Makanya, saya lebih senang "door-step" si pejabat di pintu keluar setelah dia selesai bicara.
Pejabat dan Ilusi Bicara
Saya sering melihat pejabat berpidato seperti sedang melakukan laporan pertanggungjawaban internal. Mereka sibuk menjejalkan angka pertumbuhan ekonomi, jumlah hektare hutan yang direstorasi, nilai investasi yang masuk, atau target-target besar yang terdengar keren di media.
Masalahnya, publik yang mendengar tidak melulu staf kementerian atau kolega sesama birokrat. Mereka masyarakat biasa, mulai dari guru, mahasiswa, petani, bahkan wartawan macam saya. Bahasa yang terlalu teknis malah bikin jarak makin lebar. Kalau saya yang wartawan saja masih "hah heh hoh" dengar pidatonya, bagaimana dengan pembaca?
Contohnya, saya pernah menghadiri rapat koordinasi soal kebakaran hutan. Seorang pejabat bicara hampir 30 menit, lengkap dengan proyeksi grafik di layar. Kalimatnya panjang-panjang, penuh istilah ilmiah, seperti restorasi hidrologi, intensifikasi monitoring, dan pemetaan hotspot berbasis spasial.
Saya mungkin mengerti sebab saya sarjana kehutanan. Tapi dalam hati, saya sebetulnya nyeletuk, "Kalau sudah kebakaran, apa artinya semua istilah itu? Bisa gak mereka bilang saja, 'kami akan lebih cepat padamkan api supaya asap gak lagi sampai ke rumah masyarakat.' Gitu saja lebih simpel kan?" Hehehe.
Teori Klasik yang Terlupakan
Waktu kuliah di Bogor, saya sempat ambil kelas Ilmu Komunikasi sebagai supporting course. Awalnya, saya pikir kelas ini hanya akan berisi teori-teori membosankan tentang model komunikasi klasik. Ternyata justru di sinilah saya mendapat bekal yang sampai sekarang masih terasa relevan, terutama ketika melihat fenomena public speaking pejabat kita.
Dosen saya waktu itu menjelaskan bahwa komunikasi efektif bisa diringkas dalam tiga prinsip sederhana, yaitu clarity, brevity, dan empathy. Tiga kata ini terdengar sepele, tapi dampaknya luar biasa kalau benar-benar dipraktikkan.