Mari kita ngobrol sebentar, santai saja. Beberapa hari terakhir, jalanan di sekitar Senayan lagi-lagi jadi lautan massa. Sampai akhir pekan begini.Â
Demo DPR. Kita sudah terbiasa mendengar kata itu. Tapi jujur, ada rasa getir yang makin menebal setiap kali berita soal demo muncul.
Kalau dipikir-pikir, demo itu bukan sekadar soal "orang marah-marah di jalan." Demo adalah cermin, bahwa ada yang salah dengan cara komunikasi antara rakyat dengan wakilnya. Kalau DPR benar-benar jadi rumah rakyat, kenapa rakyat harus teriak di jalan raya buat didengar?
Kenapa Demo Sering Terjadi?
Demo itu sebenarnya hak warga negara. Konstitusi jelas mengatur rakyat boleh bersuara, menyampaikan pendapat di muka umum. Tapi kenapa rasanya demo jadi jalan utama, bukan pilihan terakhir?
Jawabannya simpel aja, karena banyak orang merasa DPR tidak benar-benar mendengar. Rapat-rapat di Senayan terasa jauh, bahasa politik sulit dicerna, dan keputusan sering terasa tidak berpihak.Â
Contoh yang masih segar di ingatan adalah ketika dulu pembahasan UU Cipta Kerja berlangsung cepat tanpa ruang dialog memadai, atau ketika RUU Kesehatan disahkan meski banyak organisasi profesi masih menolak.
Kali ini, hal sama terjadi lagi, DPR terus "menari" di atas penderitaan rakyat. Wajar ketika rakyat akhirnya memilih cara paling "keras" dengan turun ke jalan. Karena mereka tahu, kamera media pasti ada di sana, dan mungkin, cuma dengan cara itu suara mereka terdengar.
Rakyat Demo di Senayan, Anggota Dewan Malah 'Kabur'
Sementara rakyat rela berdiri berjam-jam di bawah terik matahari, bersuara di depan Gedung DPR demi didengar, apa yang dilakukan sebagian anggota dewan yang kita tunggu-tunggu? Diskusi di ruang rapat? Mendengar aspirasi rakyat? Ah, terlalu mulia kalau begitu jawabannya.
Nyatanya, mereka ada yang malah "turun ke jalan"... tapi jalannya di Guangzhou, Singapura, sampai Sydney. Luar biasa. Tangkapan kamera warganet kita di luar negeri sudah cukup jadi bukti. Saat rakyat menunggu suara, wakilnya malah sibuk menghirup udara negeri tetangga.
Ironi bukan main. Rakyat di Senayan teriak-teriak minta keadilan, sementara wakilnya mungkin sibuk memotret pemandangan Marina Bay, berbelanja di Orchard, atau berpose di depan Opera House. Rasanya, kok DPR lebih sigap merespons tiket perjalanan dibanding tiket aspirasi rakyatnya.