Mohon tunggu...
Mutia Ramadhani
Mutia Ramadhani Mohon Tunggu... Mutia Ramadhani

Certified author, eks-jurnalis ekonomi dan lingkungan, kini berperan sebagai full-time mom sekaligus novelis, blogger, dan content writer. Founder Rimbawan Menulis (Rimbalis) yang aktif mengeksplorasi dunia literasi dan isu lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Novel Mandek 12 Tahun Terselamatkan oleh Latte dan Musik di Kafe

11 Agustus 2025   21:53 Diperbarui: 14 Agustus 2025   13:21 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik di kafe nyalakan kreativitas (Foto: Freepik)

Ada satu fakta yang jarang saya ceritakan ke orang. Novel pertama saya, "Sialang dan Tualang," yang akhirnya terbit tahun 2023 itu... sebenarnya sudah mulai ditulis sejak 2011. Iya, 12 tahun mandek. 

Bayangkan, naskah itu udah sempat jadi fosil digital di laptop, tertimbun oleh folder-folder penuh janji palsu seperti "REV_NOVEL_FINAL_FINAL_BENERAN.docx" yang sebenarnya gak pernah final.

Apa yang bikin saya akhirnya bisa menyelesaikannya? Bukan seminar menulis, bukan juga challenge 30 hari menulis novel. Jawabannya, salah satunya adalah kafe. Lebih spesifik lagi, musik di kafe.

Saya sepanjang 2014-2020 tinggal di Bali, dan Bali itu surga kafe. Tiap kafe punya aroma kopi, suasana, dan yang paling penting adalah playlist-nya sendiri. 

Dari sinilah saya tahu, musik di kafe itu bisa jadi sayap yang bikin kita terbang produktif, atau jadi tembok besar yang bikin kita mentok gak bisa nulis.

Musik, Teman atau Musuh?

Kalau kamu pernah duduk di kafe sambil kerja, belajar, atau nulis, pasti ngerti maksud saya. Musik di kafe bisa bikin kita tenggelam dalam flow, atau malah bikin kita pengen cabut dan gak balik lagi ke sana.

Ada kafe yang putar lo-fi beats pelan-pelan di background. Rasanya kayak otak kita tiba-tiba jadi "Zen Mode" di mana jemari mengetik lancar, ide ngalir, bahkan kita bisa nulis tiga bab tanpa sadar.

Tapi ada juga kafe yang playlist-nya... yah, campuran gak jelas antara EDM full bass dan lagu TikTok viral. Kamu baru mau menulis adegan kematian tragis di novel, tiba-tiba disambut lirik "Baby shark doo doo doo." Langsung buyar semua mood.

Bali dan Kafe-Kafe Penyelamat Naskah

Waktu masih di Bali, saya punya beberapa "markas" menulis. Setiap kafe punya identitas musiknya sendiri. Ada yang selalu muter bossa nova, ada yang setia dengan jazz 90-an, ada juga yang suka memutar indie folk.

Salah satu kafe favorit saya ada di Sanur. Mereka punya playlist yang consistently dreamy, Bon Iver, Angus & Julia Stone, dan sesekali lagu klasik instrumental. Duduk di sana sambil lihat pantai, saya bisa revisi satu bab penuh hanya dalam satu jam. Rasanya kayak menulis di film indie festival.

Lain cerita kalau saya duduk di kafe di daerah Canggu yang lebih rame turis muda. Musiknya upbeat, cocok buat orang yang mau networking atau pamer abs otot di Instagram Story. Tapi buat saya yang lagi nulis adegan tokoh utama merenungi cinta yang hilang... ya gak nyambung.

Kenapa Musik Bisa Mengatur Mood Kita?

Pernah gak, kamu lagi lemes banget terus tiba-tiba dengar lagu upbeat dan rasanya langsung pengen joget? Atau lagi mau nulis, tapi malah buyar karena lagu yang diputar liriknya "gak nyambung" sama mood kita? Itu bukan kebetulan, tapi ada penjelasan ilmiahnya. 

Musik ternyata punya pengaruh langsung ke otak, terutama ke sistem limbik, yaitu bagian otak yang bertanggung jawab mengatur emosi. Selain itu, musik juga memengaruhi gelombang otak kita. 

Bayangin otak itu kayak punya mode kerja yang berbeda, dari super fokus, santai, sampai hiperaktif. Musik adalah salah satu "remote control" yang bisa menggeser mode itu dengan cepat.

1. Tempo Cepat (120 BPM ke Atas)

Kalau pernah dengar lagu EDM, rock cepat, atau pop yang bikin kita pengen tepuk tangan ikutan beat, itu biasanya ada di tempo 120 BPM ke atas. Musik dengan tempo ini memicu otak untuk masuk ke mode siaga dan energik. 

Denyut jantung bisa sedikit naik, dan kita jadi merasa bersemangat. Makanya, lagu-lagu ini cocok banget buat aktivitas yang butuh energi besar, kayak nge-gym, lari pagi, atau nyapu rumah sambil nyanyi-nyanyi.

Tapi hati-hati, kalau lagi butuh fokus dalam pekerjaan yang rumit, misalnya menulis plot novel atau menghitung laporan keuangan, tempo cepat justru bisa bikin pikiran kita "loncat-loncat" gak karuan. Otak jadi sibuk mengikuti irama, bukan menyelesaikan tugas.

2. Tempo Sedang (60--90 BPM)

Nah, ini tempo emas buat fokus. Musik di tempo sedang bikin otak kita berada di zona nyaman sehingga cukup terstimulasi untuk tetap terjaga, tapi gak terlalu "heboh" sampai bikin buyar konsentrasi. Genre seperti jazz, bossa nova, lo-fi, atau soft acoustic biasanya berada di kisaran ini.

Kalau diperhatikan, banyak kafe yang memang sengaja memutar lagu di tempo ini pada jam-jam ramai orang kerja. Kenapa? Karena suasana yang tenang tapi hangat bikin pelanggan betah duduk lama, yang artinya, pesan minumannya bisa nambah dua atau tiga kali.

3. Musik tanpa Lirik

Ini favorit banyak penulis, desainer, dan mahasiswa yang lagi skripsi. Alasannya sederhana, otak kita hanya bisa memproses satu "aliran kata-kata" dalam satu waktu. 

Kalau musiknya pakai lirik, apalagi bahasa yang kita mengerti, otak akan otomatis ikut memproses kata-kata itu. Akibatnya, fokus terbagi.

Makanya musik instrumental, ambience sound, atau bahkan white noise jadi pilihan populer. Kita gak terganggu sama "cerita" di lagu, tapi tetap dapat stimulus ritme dan suasana. Ada yang pakai suara hujan, suara api unggun, bahkan suara mesin kopi kafe untuk bikin suasana fokus, mirip ASMR, tapi versi produktif. Bali banget ini!

4. Playlist yang Konsisten = Sinyal ke Otak

Inilah alasan kenapa kafe dengan playlist yang konsisten bikin kita betah. Otak manusia pintar dalam membentuk asosiasi. Kalau setiap kali kita kerja ditemani musik lo-fi atau jazz ringan, lama-lama otak akan "menghafal" sinyal itu. Contohnya, musik ini artinya waktunya fokus. Sama kayak otak kita yang otomatis ngantuk kalau dengar suara hujan di malam hari.

Buat yang kerja di kafe, playlist ini bisa jadi semacam tombol "ON" buat produktivitas. Begitu lagu pertama diputar, pikiran langsung masuk mode kerja. Meski cuma ngetik satu kalimat di awal, otak sudah siap buat lanjut.

Kafe Tanpa Musik?

Pernah juga saya coba nulis di kafe yang tiba-tiba karena "kesalahan teknis" tiba-tiba musiknya berhenti dan satu jam ke depan gak memutar musik sama sekali. Awalnya aneh. Yang terdengar cuma suara sendok beradu dengan gelas, mesin espresso menyala, dan obrolan samar-samar. Tapi lama-lama, itu juga bisa jadi musik tersendiri, disebutnya ambient sound.

Di kafe ini, saya ternyata tetap bisa fokus, terutama kalau lagi mau menulis adegan sunyi atau kontemplatif. Suasana heningnya bikin saya bisa mendengar "suara" karakter novel saya dengan lebih jelas. Serius.

Misalnya, karakter saya sedang merenung di tengah malam. Heningnya kafe terasa sinkron sekali. Setiap tarikan napas saya seolah jadi selaras dengan napas karakter.

Rasanya kayak ada panggung kecil di kepala saya, dan para karakter itu beraksi tanpa gangguan dari luar. Kafe tanpa musik ini membuat saya sadar akan detail-detail kecil yang biasanya terlewat dalam naskah saya.

Tapi kalau semua kafe harus mengadopsi model ambient sound begini, ya saya gak setuju juga. Hidup butuh pilihan. Ada hari di mana kita ingin duduk di sudut sunyi sambil menulis adegan sendu, tapi ada juga hari di mana kita mau ikut goyang kaki karena irama musik yang mengalun. 

Justru keindahan nongkrong di kafe ada pada keberagamannya. Mau hening, mau berisik, atau mau di tengah-tengah, semua ada tempatnya.

Playlist dan Perjalanan Naskah 2012 ke 2023

Mari kita kembali ke naskah saya yang sempat jadi fosil itu. Setiap bab punya "playlist" sendiri. Misalnya, bab yang penuh nostalgia, seringnya saya tulis di kafe yang muter The Beatles dan Simon & Garfunkel.

Bab penuh ketegangan, saya tulis di kafe yang playlist-nya lebih modern, penuh beat elektronik tapi gak terlalu kencang. Musisinya siapa, saya tak masalah, bebas, yang penting enak di telinga. Bab klimaks, saya suka tulis di kafe di tepi pantai yang musiknya campuran instrumental dan suara ombak.

Pernah juga, saya sengaja pindah kafe demi mencari mood musik yang sesuai. Dan tiap kali naskah mulai mandek, solusi saya bukan membaca ulang teori penulisan... tapi mengganti suasana dan musik di sekitar saya.

Tentu saja, ada juga pengalaman di mana musik bikin saya pengen pulang lebih cepat. Beberapa tipe playlist pembunuh mood:

  • Volume kelewat kencang sampai saya gak bisa dengar pikiran sendiri.
  • Genre campur aduk dalam satu jam, dari jazz ke dangdut koplo ke death metal.

Lagu yang sama diputar berulang-ulang (sampai hafal padahal gak mau hafalin).

Pernah sekali saya duduk di kafe yang muter "Shape of You" Ed Sheeran lima kali dalam dua jam. Saking seringnya, saya sampai ketik kalimat "Shape of You" di tengah adegan serius novel saya tanpa sadar.

Polemik Royalti Musik di Kafe

Akhir-akhir, suasana ngopi sambil nulis di Jakarta mungkin agak berubah ya. Ya gak cuma karena menu seasonal yang kadang bikin kantong kaget, tapi karena polemik royalti musik yang lagi panas.

Buat yang belum tahu, di Indonesia, kafe, restoran, dan tempat usaha lain yang memutar musik komersial kemungkinan bakal wajib membayar royalti sesuai aturan Undang-Undang Hak Cipta. 

Artinya, kalau kafe langganan kamu muter lagu-lagu Noah, ST12, Wali, Sheila on 7, Dewa, Raisa, Vidi Aldiano, Afghan, dan lainnya, secara hukum mereka harus setor biaya ke Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).

Masalahnya, biaya ini gak selalu kecil, tergantung ukuran tempat, jam operasi, dan jenis musik yang diputar. 

Beberapa pemilik kafe di Jakarta mungkin mengeluh, "Lah, ini kan buat bikin suasana lebih enak, masa kena biaya segini?" Akhirnya, sebagian memilih mematikan musik total biar aman dari urusan hukum.

Buat saya yang terbiasa menulis di kafe dengan musik latar, ini lumayan berasa. Saya sendiri gak kebayang, kafe-kafe di Jakarta jadi hening total.

Memang, ada yang tetap kreatif. Ada kafe yang bikin playlist orisinal buatan barista atau temannya yang musisi indie lokal (yang jelas kasih izin gratis). 

Ada juga yang berlangganan platform musik berlisensi khusus untuk bisnis seperti Soundtrack Your Brand, jadi tetap bisa muter lagu-lagu populer tanpa takut disemprit LMKN. Tapi kan gak semua mau repot. 

Kalau mau jujur, aturan ini niatnya sih emang bagus, musisi dan pencipta lagu dapat haknya. Tapi di sisi lain, banyak pelaku usaha kecil menengah di Jakarta yang belum siap dengan biaya tambahan ini.

Hasilnya, kita sebagai pelanggan dapat "efek domino" di mana kafe jadi berubah atmosfernya, dan pengalaman nongkrong atau bekerja pun gak sama lagi.

Buat saya, musik di kafe itu bagian dari ekosistem kreatif kota. Saat kafe bisa memutar musik secara legal dan konsisten, suasana kerja dan nongkrong di Jakarta terasa hidup. Tapi kalau semua memilih diam demi hemat biaya royalti, lama-lama kafe di kota ini bisa kehilangan soul-nya. Setuju, gak?***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun