Mohon tunggu...
Mutia Ramadhani
Mutia Ramadhani Mohon Tunggu... Mutia Ramadhani

Certified author, eks-jurnalis ekonomi dan lingkungan, kini berperan sebagai full-time mom sekaligus novelis, blogger, dan content writer. Founder Rimbawan Menulis (Rimbalis) yang aktif mengeksplorasi dunia literasi dan isu lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Music Artikel Utama

Novel Mandek 12 Tahun Terselamatkan oleh Latte dan Musik di Kafe

11 Agustus 2025   21:53 Diperbarui: 14 Agustus 2025   13:21 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musik di kafe nyalakan kreativitas (Foto: Freepik)

Makanya musik instrumental, ambience sound, atau bahkan white noise jadi pilihan populer. Kita gak terganggu sama "cerita" di lagu, tapi tetap dapat stimulus ritme dan suasana. Ada yang pakai suara hujan, suara api unggun, bahkan suara mesin kopi kafe untuk bikin suasana fokus, mirip ASMR, tapi versi produktif. Bali banget ini!

4. Playlist yang Konsisten = Sinyal ke Otak

Inilah alasan kenapa kafe dengan playlist yang konsisten bikin kita betah. Otak manusia pintar dalam membentuk asosiasi. Kalau setiap kali kita kerja ditemani musik lo-fi atau jazz ringan, lama-lama otak akan "menghafal" sinyal itu. Contohnya, musik ini artinya waktunya fokus. Sama kayak otak kita yang otomatis ngantuk kalau dengar suara hujan di malam hari.

Buat yang kerja di kafe, playlist ini bisa jadi semacam tombol "ON" buat produktivitas. Begitu lagu pertama diputar, pikiran langsung masuk mode kerja. Meski cuma ngetik satu kalimat di awal, otak sudah siap buat lanjut.

Kafe Tanpa Musik?

Pernah juga saya coba nulis di kafe yang tiba-tiba karena "kesalahan teknis" tiba-tiba musiknya berhenti dan satu jam ke depan gak memutar musik sama sekali. Awalnya aneh. Yang terdengar cuma suara sendok beradu dengan gelas, mesin espresso menyala, dan obrolan samar-samar. Tapi lama-lama, itu juga bisa jadi musik tersendiri, disebutnya ambient sound.

Di kafe ini, saya ternyata tetap bisa fokus, terutama kalau lagi mau menulis adegan sunyi atau kontemplatif. Suasana heningnya bikin saya bisa mendengar "suara" karakter novel saya dengan lebih jelas. Serius.

Misalnya, karakter saya sedang merenung di tengah malam. Heningnya kafe terasa sinkron sekali. Setiap tarikan napas saya seolah jadi selaras dengan napas karakter.

Rasanya kayak ada panggung kecil di kepala saya, dan para karakter itu beraksi tanpa gangguan dari luar. Kafe tanpa musik ini membuat saya sadar akan detail-detail kecil yang biasanya terlewat dalam naskah saya.

Tapi kalau semua kafe harus mengadopsi model ambient sound begini, ya saya gak setuju juga. Hidup butuh pilihan. Ada hari di mana kita ingin duduk di sudut sunyi sambil menulis adegan sendu, tapi ada juga hari di mana kita mau ikut goyang kaki karena irama musik yang mengalun. 

Justru keindahan nongkrong di kafe ada pada keberagamannya. Mau hening, mau berisik, atau mau di tengah-tengah, semua ada tempatnya.

Playlist dan Perjalanan Naskah 2012 ke 2023

Mari kita kembali ke naskah saya yang sempat jadi fosil itu. Setiap bab punya "playlist" sendiri. Misalnya, bab yang penuh nostalgia, seringnya saya tulis di kafe yang muter The Beatles dan Simon & Garfunkel.

Bab penuh ketegangan, saya tulis di kafe yang playlist-nya lebih modern, penuh beat elektronik tapi gak terlalu kencang. Musisinya siapa, saya tak masalah, bebas, yang penting enak di telinga. Bab klimaks, saya suka tulis di kafe di tepi pantai yang musiknya campuran instrumental dan suara ombak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun