Menulis, kata yang mungkin bagi sebagian orang biasa saja. Tapi mungkin juga ada beberapa individu yang menganggap menulis adalah hal yang mengerikan. Mengapa? Ada beberapa kemungkinan, salah satunya disebabkan oleh kebiasaan menulis yang minim diajarkan oleh orang-orang yang dikenal. Ditambah kesadaran akan literasi yang patut kita evaluasi di kalangan remaja di era sekarang. Menyadarkan kita betapa banyaknya hal yang harus kita benahi mengenai cara berpikir anak-anak muda yang menjadi kunci akan terealisasinya secara efektif bonus demografi di tahun 2035. Maka dari itu, saya akan melakukan apa yang diminta Pak Study Rizal selaku dosen Pendidikan Pancasila di Program studi Kesejahteraan Sosial UIN Jakarta. Untuk menulis artikel dan mempostingnya ke forum blog seperti Kompasiana atau Retizen, semata-mata untuk melatih keterampilan menulis saya yang saya rasa jauh dari level pemula, apalagi amatir.
     Saya diminta untuk menyimpulkan ulang artikel Pak Study Rizal yang berjudul "Tragedi Affan Kurniawan: Wajah Komunikasi Kekuasaan yang Represif". Saya mencoba memahami isi tulisan tersebut, lalu menuliskannya dengan bahasa saya sendiri. Artikel itu menceritakan kisah tragis seorang driver ojek online bernama Affan Kurniawan yang meninggal setelah terlindas kendaraan taktis Barracuda milik Brimob di tengah situasi demonstrasi. Bagi saya, kejadian ini bukan hanya musibah kecelakaan, melainkan representasi nyata tentang bagaimana negara masih sering menggunakan simbol kekerasan untuk menyampaikan pesan kekuasaannya kepada rakyat.
     Saya jadi berpikir bahwa Barracuda yang seharusnya digunakan sebagai alat negara untuk menjaga keamanan justru berubah fungsi menjadi simbol intimidasi. Narasi resmi yang mencoba menutupi atau menenangkan publik akhirnya kalah oleh suara warganet yang menyebarkan video dan menuliskan kritik di media sosial. Permintaan maaf Kapolri memang menyentuh sisi kemanusiaan, tetapi bagi saya itu belum cukup untuk menghapus luka sekaligus kekecewaan masyarakat terhadap kinerja instansi pemerintah yang diamanatkan untuk melindungi warga negaranya. Dari tragedi ini saya merasa semakin jelas bahwa komunikasi kekuasaan di negeri kita masih represif. Namun, saya juga sadar bahwa rakyat hari ini tidak lagi sepenuhnya hanya bertindak di belakang. Mereka berani melawan, membangun narasi tandingan, dan menuntut keadilan. Pada akhirnya, sosok Affan yang sehari-hari hanya berjuang mencari nafkah justru menjadi simbol penting, bahwa kekuasaan harus mulai mengubah bahasanya---bukan lagi dengan senjata, melainkan dengan kemanusiaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI