Mohon tunggu...
M TauhedSupratman
M TauhedSupratman Mohon Tunggu... Dosen

Saya suka membaca dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Malu dan Kemaluan: Sebuah Tinjauan Bahasa

20 September 2025   02:00 Diperbarui: 20 September 2025   02:00 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Malu dan Kemaluan: Sebuah Tinjauan Bahasa

Oleh: M. Tauhed Supratman

Kata malu dan kemaluan dalam bahasa Indonesia memiliki hubungan yang menarik dari segi linguistik, semantik, dan budaya. Meskipun berasal dari akar kata yang sama, keduanya berkembang menjadi leksikon dengan makna yang sangat berbeda. Analisis ini akan membedah kedua kata tersebut dari sudut pandang morfologi, semantik, dan konotasi budaya.

Kata malu merupakan kata dasar yang berarti perasaan tidak nyaman, tersipu, atau takut dihakimi akibat suatu tindakan. Sementara itu, kemaluan dibentuk melalui proses afiksasi dengan penambahan prefiks ke- dan sufiks -an, yang sering mengindikasikan suatu tempat, alat, atau hal yang abstrak. Namun, dalam kasus ini, sufiks -an justru mengarah pada makna yang lebih konkret: organ intim manusia.

Perubahan makna ini menunjukkan bagaimana proses morfologis tidak selalu linier. Malu bersifat abstrak (perasaan), sedangkan kemaluan menjadi lebih fisik (bagian tubuh). Fenomena ini juga terjadi dalam kata lain seperti tahu (memahami) dan ketahuan (terbongkar), di mana afiksasi mengubah makna secara signifikan.

Dalam perkembangannya, kemaluan mengalami spesialisasi makna yang sempit, yakni merujuk pada alat kelamin. Pergeseran ini mungkin dipengaruhi oleh norma sosial yang menganggap pembicaraan tentang organ intim sebagai hal yang tabu, sehingga diperlukan kata yang lebih halus. Bahasa Indonesia cenderung menggunakan bentuk berafiks untuk menyamarkan makna vulgar, seperti payudara (dari dada) atau kemaluan (dari malu).

Di sisi lain, kata malu tetap netral dan luas penggunaannya. Ia bisa merujuk pada rasa sungkan ("Saya malu bertanya"), kesopanan ("Jangan malu-malu!"), atau bahkan kritik sosial ("Tak tahu malu!"). Sementara kemaluan hampir selalu terkait dengan anatomi tubuh, kecuali dalam konteks sastra atau metafora.

Dalam budaya Indonesia, malu sering dikaitkan dengan nilai moral, seperti sopan santun dan harga diri. Ungkapan "jaga malu" berarti menjaga kehormatan diri. Sebaliknya, kemaluan jarang dibicarakan secara terbuka karena dianggap privasi atau aib. Ini mencerminkan bagaimana bahasa menyesuaikan diri dengan norma masyarakat.

Pemisahan makna ini juga terlihat dalam sastra dan agama. Kata malu dipuji sebagai sikap terpuji (misalnya dalam cerita-cerita religius), sementara kemaluan hanya dibahas secara tersirat atau dengan diksi lain seperti aurat.

Dari paparan di atas, terlihat bahwa malu dan kemaluan adalah contoh menarik dari bagaimana bahasa berkembang melalui morfologi, semantik, dan tekanan budaya. Meski berasal dari akar yang sama, keduanya terpisah oleh konotasi dan fungsi sosial. Malu tetap abstrak dan universal, sementara kemaluan menjadi istilah khusus yang dibentuk oleh tabu dan kebutuhan akan kesopanan linguistik. Dengan demikian, bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cermin nilai-nilai masyarakat---seperti bagaimana kita memisahkan yang publik (malu) dan yang privat (kemaluan) dalam kata-kata.

Dalam perkembangan penggunaan kata "malu" muncul ungkapan "malu-malu kucing". Kata ini sering dipakai untuk menggambarkan sikap seseorang yang berpura-pura enggan, padahal sebenarnya ingin. Tapi apakah ini berarti kucing---atau binatang lain---benar-benar punya rasa malu? Dan jika binatang bisa malu, apakah itu tanda mereka juga punya iman, seperti dikatakan Ustadz Abdul Somad (UAS, https://vt.tiktok.com/ZSkCANrXL/) bahwa "malu adalah cabang dari iman"?

Ketika seekor kucing bersembunyi saat ketahuan mencuri ikan, atau anjing menunduk setelah dimarahi, apakah itu tanda malu? Secara ilmiah, perilaku ini lebih terkait dengan insting menghindari ancaman atau hukuman, bukan kesadaran moral. Binatang tidak memiliki konsep sopan-santun atau aib seperti manusia. Yang mereka miliki adalah mekanisme bertahan hidup: takut pada yang lebih kuat, menghindari konflik, atau menuruti hierarki sosial dalam kelompoknya.

Jadi, "malu-malu kucing" sebenarnya hanya metafora manusia yang memproyeksikan perasaannya ke binatang. Kucing tidak malu dalam arti manusiawi; ia hanya berhati-hati atau menunggu kesempatan.

UAS menyebut "malu adalah cabang dari iman", merujuk pada hadis yang menekankan rasa malu sebagai bagian dari akhlak baik dalam Islam. Pertanyaannya: jika binatang bisa malu, apakah mereka juga beriman?

Dalam teologi Islam, iman terkait dengan kesadaran akan Tuhan, hukum syariat, dan pertanggungjawaban di akhirat---hal-hal yang hanya dimiliki manusia. Binatang tidak diberi taklif (beban hukum), tidak punya akal untuk memilih antara benar dan salah, dan hidup murni berdasarkan naluri. Jadi, meski mereka mungkin terlihat seperti punya malu, itu bukan malu yang lahir dari iman, melainkan insting alami.

Lalu, Mengapa Kita Mengatakan "Malu-Malu Kucing"? Ini murni gaya bahasa. Manusia sering memberi atribut emosi pada binatang untuk membuat deskripsi lebih hidup. Contoh lain: "kucing galak" (padahal ia hanya defensif), atau "merpati setia" (padahal ia sekadar mengikuti pola kawin alami).

"Malu-malu kucing" bukan bukti binatang punya rasa malu, apalagi iman. Itu hanya cara manusia memahami dunia dengan kacamata sendiri---kadang terlalu manusiawi dalam memandang makhluk lain.

Binatang tidak punya rasa malu seperti manusia, karena malu dalam arti sejati terkait dengan kesadaran moral, norma sosial, dan keimanan. Perilaku mereka yang terlihat seperti malu hanyalah bentuk adaptasi insting. Ungkapan "malu-malu kucing" adalah personifikasi, bukan fakta biologis.

Jadi, jika ada yang mengatakan "kucing malu berarti mereka beriman", itu hanya tafsir yang terlalu jauh. Iman adalah hakikat manusiawi, sementara binatang hidup di dunia yang lebih sederhana: tanpa dosa, tanpa pahala, dan tanpa beban untuk merasa malu.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun