Mohon tunggu...
Choirul Rosi
Choirul Rosi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen yang hobi membaca buku dan novel

Cerita kehidupan yang kita alami sangat menarik untuk dituangkan dalam cerita pendek. 🌐 www.chosi17.com 📧 choirulmale@gmail.com IG : @chosi17

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Teana - Siprus (Part 17)

8 Mei 2018   14:26 Diperbarui: 8 Mei 2018   14:46 792
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Siapa orang yang baru saja pergi itu? Sepertinya ia bukan penghuni Pulau ini. Kulitnya terlihat berbeda dengan kulit kita."

"Kau benar. Dia orang Petra. Yang aku tahu hanya sebatas itu saja. Lainnya tidak."

"Mengapa kau menerimanya? Apa kau tidak melihat keanehan yang ada pada diri orang itu?"

"Aku melihatnya. Tapi aku tidak peduli dengan semua itu. Aku hanya menginginkan uangnya. Ia membayarku mahal." jawab pemilik penginapan sambil menimang -- nimang kantung koin emas ditangannya.

Lalu pemilik penginapan pergi melayani tamu yang baru saja datang.

"Silakan Tuan... Selamat datang, ada yang bisa aku bantu?"

Dihinggapi rasa penasaran dan rasa tidak puas atas jawaban yang ia terima. Khalid berjalan menuju kamar Simkath. Ia sendirian. Tak ada orang tahu akan hal ini. Sesampai didepan kamar Simkath, ia mengintip dari celah -- celah dinding kayu. Ia melihat Simkath tertidur pulas di ranjangnya. Ia mengamati seisi ruangan Simkath. Kemudian ia menatap wajah Simkath yang sedang terbaring miring diatas ranjang. Khalid bisa menatap wajah Simkath dengan sangat jelas. Wajahnya penuh dengan guratan -- guratan di pipi, sangat menyeramkan.

Mata Khalid masih tetap memandang wajah Simkath, namun tiba -- tiba kedua mata mereka saling bertemu. Simkath terjaga. Khalid tersentak kaget. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya. Ia seperti dipaksa untuk menatap mata Simkath. Mata yang berwarna semerah darah. Dalam beberapa detik, tubuh Khalid bergetar hebat. Sebuah kekuatan seolah menguasai dirinya. Namun Simkath memejamkan matanya kembali. Khalid terjatuh lemas. Tak bersuara. Iapun berdiri dan beranjak dari tempatnya. Meninggalkan kengerian yang baru saja ia rasakan. Simkath tersenyum puas. Lalu ia melanjutkan tidurnya.

***

  •             Sementara itu di Kerajaan Yodh...
  • "Wahai para pengikutku... Adakah kiranya sesuatu yang mengganggu kalian akhir -- akhir ini?"
  • "Tidak ada Tuan, kami baik -- baik saja. Semua berjalan seperti biasa."
  • "Benarkah?"
  • "Benar Tuan, Mengapa Tuan menanyakan hal itu? Apakah ada yang mengganggu Tuan?"
  • "Coba kau lihat keatas. Perhatikan warna kubah kerajaan kita."
  •             Semua pengikut Yodh menengadah keatas. Memperhatikan kubah raksasa yang menaungi kerajaan mereka. Dengan cermat mereka mengamati warna kubah itu. Pelan namun pasti, tekstur warna kubah mulai berubah. Ruangan pertemuan itu mendadak menjadi gempar.
  •             "Tuan... Mengapa warna kubah itu berubah? Apa yang terjadi?"
  • "Baguslah kalian menyadarinya. Itu semua karena kekuatan Dewa Dhushara. Jika ini dibiarkan terus menerus, kerajaan kita bisa melemah dan hancur."
  • "Kekuatan Dewa? Bukankah Tuan telah mencuri patung Dewa Dhushara dari Kuil Ad Deir? Dan itu artinya adalah tidak akan ada lagi pemujaan kepada Dewa. Sehingga kekuatan Dewa Dhushara sudah pasti akan melemah dan kerajaan kita akan tetap aman. Tapi mengapa ini terjadi sebaliknya?"
  • "Patung Dewa Dhushara memang berhasil dicuri dari Kuil Ad Deir. Namun bukan itu masalahnya. Kekuatan Dewa Dhushara tidak terletak pada patung itu. Namun ada pada batu rubi hijau yang tertanam didalam patung. Segera kalian cari batu itu."
  • "Baik Tuan. Akan kami laksanakan. Tapi... Bagaimana cara kami mengetahui keberadaan batu itu Tuan?"
  • "Batu itu akan selalu memancarkan energi yang cukup besar. Jika batu itu berada di alam liar, maka keadaan di sekitar batu itu akan terasa cukup teduh dan menenangkan. Namun jika batu itu telah jatuh ke tangan manusia, maka manusia yang memiliki batu itu akan memancarkan cahaya pendar berwarna hijau. Pendar cahaya itu hanya bisa dilihat oleh Bangsa Bawah seperti kita. Bangsa manusia tidak akan sanggup melihatnya."
  • "Kami mengerti Tuan. Perintah Tuan akan segera kami laksanakan."
  • ***
  •      Pagi itu Simkath berangkat menuju pasar kota untuk membeli makanan. Dengan jubah hitam yang dilengkapi kerudung berwarna senada menutup seluruh tubuhnya dan sebuah tali melilit pinggangnya sebagai pengikat jubah, ia berjalan seperti orang asing. Semua mata tertuju padanya. Ada yang bergerombol membicarakannya, ada yang berlari menjauh karena ketakutan, ada yang terdiam ditempat sambil memandanginya tanpa berkata -- kata sedikitpun.
  • "Tuan... Berapa harga untuk satu potong daging kambing itu?" tanya Simkath.
  • "Harganya setengah koin emas Tuan." ucap si penjual dengan sedikit gemetar.
  • "Aku beli dua potong, satu potong dibakar setengah matang."
  • "Ba... Baik Tuan." jawab si penjual tergagap.
  •      Dengan cekatan, si penjual meraih dua ekor daging kambing segar diatas meja, lalu ia membakar daging itu. Sambil terus mengipasi daging kambing didepannya, matanya tak henti -- hentinya mencuri pandang kepada Simkath. Seolah -- olah ada sesuatu dari diri Simkath yang memaksa matanya untuk melihatnya.
  •      Sesekali mata mereka beradu pandang dan si penjual langsung membuang muka. Takut Simkath akan tersinggung dan marah padanya. Setelah daging itu matang, si penjual mengoleskan mentega diatasnya. Lalu menaburinya dengan berbagai macam rempah -- rempah.
  • "Ini daging pesanan Tuan." ucap si penjual sambil menyerahkan bungkusan daging bakar kepada Simkath.
  • "Terimakasih. Ini, ambil semuanya." jawab Simkath. Kemudian ia pergi meninggalkan si penjual yang berdiri diam dalam kebingungan. Tak satupun kata keluar dari mulutnya.
  •      Hari mulai beranjak sore, matahari mulai tergelincir di ufuk barat. Sepertinya Simkath cukup puas dengan barang -- barang yang ia dapatkan. Ia ingin segera kembali ke penginapannya untuk melepas lelah. Ketika hendak keluar dari pasar kota, ia dikejutkan oleh iringan kuda yang ditunggangi oleh beberapa lelaki berjubah hitam dengan cadar putih menutup sebagian wajahnya. Yang nampak hanyalah mata mereka.
  •      Gerombolan lelaki berkuda itu menyeruak masuk ke jalanan pasar yang cukup ramai. Sehingga banyak penduduk dan anak -- anak kecil yang menepi untuk menghindari tabrakan dengan kuda yang sedang lari.
  •      Tiba -- tiba pemimpin gerombolan melihat sebuah pendar cahaya berwarna hijau dari dalam pasar. Iapun melecut kudanya agar berlari makin kencang.
  •             "Awas... Minggir... Minggir..." teriak salah satu dari mereka dengan suara yang tidak telalu                       jelas akibat tertutup oleh cadar.
  •      Hari mulai gelap. Suasana jalanan di pasar kota menjadi riuh. Debu -- debu beterbangan ke udara. Barang dagangan penduduk tumpah berhamburan di jalanan akibat terjangan kuda. Anak -- anak kecil menangis ketakutan dalam pelukan ibunya masing -- masing.
  •      Dari kejauhan, Simkath mengamati dengan cukup serius. Saat gerombolan lelaki berkuda hampir mendekat, Simkath berjalan menepi. Dan saat itu juga, pemimpin mereka berhenti didepannya.
  •             "Akhirnya, setelah cukup lama mencari, kutemukan juga kau. Tangkap lelaki ini!" teriaknya lantang sambil mengarahkan pedangnya ke tubuh Simkath.
  •      Beberapa lelaki bertubuh besar segera melompat turun dari punggung kuda mereka. Mengepung Simkath dari segala penjuru. Semua orang di sekitar Simkath berlari menjauh. Mencari perlindungan sendiri -- sendiri. Simkath yang merasa terkepung, berusaha untuk tetap tenang. Ia mengepalkan kedua tangannya. Berada dalam posisi siap untuk menyerang balik. Makanan yang baru saja dibelinya, diselipkan di tali pinggangnya.
  •      Pertarunganpun terjadi. Kekuatan menjadi tidak seimbang. Simkath seorang diri melawan beberapa lelaki bertubuh besar. Dengan menggunakan tangan kosong, Simkath berhasil menguasai keadaan. Ia mampu menangani para lelaki itu. Hal ini membuat musuhnya menjadi marah. Mereka mulai mengeluarkan senjata tajam. Pedang berujung runcing dan tajam siap menghunus perut Simkath.
  •      Sesekali Simkath berlari menjauh menghindari serangan, kadang juga menyerang balik. Dengan kelincahannya, ia berhasil merebut salah satu pedang dari tangan musuhnya. Kini posisi mereka menjadi seimbang. Kedua belah pihak memiliki senjata masing -- masing.
  •      Simkath berhasil memukul mundur gerombolan lelaki berkuda itu. Beberapa dari mereka terlempar ke udara dan jatuh diatas atap lapak para pedagang. Anehnya, meskipun Simkath menyerang mereka dengan pukulan dan tendangan yang cukup keras, mereka hanya terjerembab diatas tanah saja. Tubuh mereka tidak mengalami lecet sedikitpun.
  •      Akibat pertarungan itu, pasar kota kini menjadi kacau balau. Teriakan anak kecil, bunyi gesekan pedang dan ringkihan kuda berbaur jadi satu.
  •             "Munduuur...!!!" teriak pemimpin gerombolan itu.
  •      Dalam beberapa menit, suasana pasar menjadi terkendali. Para penduduk memberanikan diri keluar dari tempat persembunyian mereka. Lapak -- lapak yang berantakan mulai dibereskan kembali oleh pemiliknya.
  •      Semua mata tertuju pada Simkath. Dengan tatapan yang aneh, mereka bergumam satu sama lain.  Simkath tidak mempedulikan mereka. Ia melemparkan pedang ditangannya, mengambil bungkusan di pinggangnya dan berjalan keluar dari pasar kota.
  • ***
  •             "Ampun Yang Mulia, hamba tidak berhasil merebut batu rubi hijau itu." ucap prajurit Yodh               ketakutan.
  •             "Apa katamu! Percuma aku mengirimmu untuk mencari batu itu kalau hasilnya seperti ini!                  Teriak Yodh marah.
  •             "Ampun Yang Mulia, kekuatan batu rubi hijau itu teramat besar. Kami tidak sanggup                         melawan aura magis dari batu itu. Kekuatan kami melemah seketika saat mendekati batu                      itu."
  •             "Cukup, tunjukkan padaku siapa orang yang memiliki batu itu. Cepat!" perintah Yodh penuh             amarah.
  •      Prajurit yang memimpin penyerangan di pasar tadi segera melangkah maju. Ia duduk bersila didepan Yodh. Merapalkan mantra dan menyilangkan kedua tangannya di dada. Lalu ia menjulurkan tangannya ke depan sambil membuka telapak tangannya. Asap putih membumbung ke udara. Yodh mengamati baik -- baik kejadian demi kejadian di pasar tadi lewat gumpalan asap yang dibuat oleh prajurit itu.
  •             "Baiklah, kali ini aku memaafkanmu. Aku bisa menerima penjelasanmu. Pergilah."
  •             "Terimakasih Yang Mulia."
  •      Ia segera berdiri, lalu ia membungkuk memberi hormat dan berbalik meninggalkan ruangan pertemuan. Hanya dalam beberapa langkah, tiba -- tiba ia jatuh ke lantai dengan tubuh hangus terbakar. Sebuah bola api yang dilesatkan Yodh mampu menghanguskan roh prajurit itu.
  •             "Itulah hukuman bagi orang yang bodoh seperti dia. Karena kebodohannya ia tidak sanggup              menjalankan tugas yang aku berikan. Ingat, kalian adalah Bangsa Bawah. Bangsa Jin.                          Kalian memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh manusia. Kalian harus mampu                           menggunakan kekuatan itu baik -- baik. Dan aku terpaksa melenyapkannya karena                                  kebodohan yang telah ia lakukan."
  •      Yodh berdiri dari singgasananya. Berjalan pelan keluar dari ruang pertemuan. Semua pembesar yang hadir disana menundukkan kepala mereka. Mereka tahu bahwa Yodh sedang dikuasai amarah. Sehingga mereka harus tetap bersikap tenang agar suasana tidak bertambah rumit.
  •      Setelah Yodh melihat kejadian di pasar kota tadi, ia bisa menyimpulkan bahwa lelaki itu bukanlah orang biasa. Melihat gerak -- geriknya saat ia menyerang balik anak buahnya, Yodh bisa mengukur kekuatan yang dimiliki lelaki itu.
  • "Prajurit... Kemarilah..." perintah Yodh kepada prajurit penjaga.
  • Prajurit itupun berjalan mendekat...
  • "Ada apa Yang Mulia memanggil hamba?"
  • "Perhatikan ini baik -- baik..." ucap Yodh.
  • Yodh segera membuka telapak tangannya, lalu mulutnya bergerak -- gerak membaca sebuah mantra. Seketika itu juga keluarlah gumpalan asap putih dari telapak tangannya.
  • "Perhatikan baik -- baik."
  • Beberapa saat kemudian...
  • "Segera kau cari lelaki itu. Temukan keberadaannya dan siapa dia sebenarnya. Kau adalah prajurit terbaikku, jangan sampai mengecewakanku. Kau mengerti?".
  • "Baik Yang Mulia, hamba mengerti. Perintah segera hamba laksanakan."
  •      Setelah prajurit itu berpamitan, ia bergegas keluar menuju halaman kerajaan. Lalu ia mengubah dirinya menjadi seekor gagak hitam dan iapun terbang ke angkasa untuk menemukan keberadaan Simkath.
  • ***
  •      Di luar udara mulai dingin. Kota Paphos nampak sepi. Kini Simkath telah sampai di penginapannya. Ia berbaring di kamarnya setelah menyantap daging kambing bakar yang dibelinya tadi sore.
  • "Siapa mereka sebenarnya? Mengapa mereka tiba -- tiba menyerangku?" gumam Simkath sambil menerawang langit -- langit kamarnya.
  •      Simkath tidak mengetahui keberadaan seekor burung gagak hitam diluar jendela kamarnya, ia cukup lelah untuk merasa waspada. Sehingga semua gerak -- gerik Simkath telah dibaca oleh si burung gagak. Prajurit suruhan Yodh itu telah membaca semua yang ada pada diri Simkath, keadaan fisiknya, seberapa besar kekuatan yang dimilikinya, hingga namanya sekalipun ia bisa tahu. Termasuk batu rubi hijau berbentuk segitiga yang melekat di kalung milik Simkath.
  •      Untuk mendapatkan semua informasi ini, gagak hitam itu terpaksa harus menjaga jarak dengan Simkath. Ia tidak bisa terlalu dekat dengannya. Sebab aura yang dikeluarkan oleh batu itu akan membakar dirinya jika ia berada dalam jarak yang terlalu dekat.
  • "Aku harus segera kembali dan melaporkannya kepada Yang Mulia Yodh." gumamnya. Ia lalu terbang melesat ke udara. Meninggalkan penginapan Simkath.
  •      Sesampainya di Kerajaan Yodh, gagak hitam itu segera mengubah dirinya menjadi wujud Jin. Ia bergegas menuju ruangan Yodh dan melaporkan apa yang telah ia lihat.
  •             "Jadi, sebesar itukah kekuatan Simkath?"
  •             "Benar Yang Mulia,"
  •             "Pantas saja mereka tidak sanggup meringkusnya."
  •             "Menurut hamba, lebih baik Yang Mulia sendirilah yang harus turun tangan. Sebab kekuatan             Yang Mulia miliki bisa menandingi kekuatan si dukun Simkath itu."
  •             "Baiklah kalau begitu, besok segera kau siapkan beberapa prajurit terbaik kita." perintah                Yodh.
  •             "Baik Yang Mulia."
  • ***
  •      Seperti biasa di pagi hari Yodh selalu menyempatkan diri berjalan -- jalan keluar untuk mencari udara segar. Setelah beberapa minggu tinggal di Kota Paphos, ia mulai bisa menyesuaikan diri. Ia sudah mendapatkan beberapa pelanggan di pasar kota. Tentunya mereka adalah para pelanggan yang mempercayai ramalan Simkath. Dari merekalah Simkath mendapatkan cukup banyak kantung koin emas. Namun beberapa hari terakhir ini koin emasnya mulai menipis.
  • "Nampaknya persediaan koin emasku tinggal sedikit, aku harus segera mendapatkan beberapa koin emas lagi agar aku bisa tetap bertahan disini." gumam Simkath. Lalu ia segera kembali ke penginapan untuk sarapan dan membersihkan badannya.
  •      Dengan berpakaian jubah seperti biasa - tanpa kerudung penutup kepala, Simkath berjalan menuju pasar kota. Ia menenteng sebuah tas kain yang tidak terlalu besar. Didalamnya berisi beberapa alat untuk meramal.
  •             "Tuan, apakah kau bisa meramalku sekarang?" tanya salah seorang lelaki muda.
  •             "Bisa Nak, kau tunggulah sebentar. Aku sedang mempersiapkan peralatanku. Aku baru saja
  •             tiba disini."
  •             "Baiklah Tuan, aku akan menunggu."
  •      Tak butuh berapa lama, persiapan Simkath telah selesai. Ia meramal nasib percintaan lelaki itu dengan kekasihnya, pekerjaannya hingga masa depannya bersama sang kekasih. Dan nampaknya lelaki muda itu cukup puas dengan ratusan kata yang keluar dari mulut Simkath.
  •      Belum juga selesai meramal, datanglah beberapa orang lagi yang ingin diramal oleh Simkath. Mereka menunggu giliran dengan sabar. Hingga tak terasa tibalah pengunjung yang terakhir. Yakni seorang wanita tua yang ingin dikaruniai seorang anak. Ia meminta jimat kepada Simkath agar lekas mengandung bayi pertamanya.
  • "Gantunglah ini diatas pintu kamar tidurmu Nyonya, setiap kali Nyonya melangkah masuk kedalam kamar, jangan lupa berdoa dan sentuhlah benda ini hingga bergoyang." ucap Simkath sambil menyerahkan sebuah bandul dari batu berukuran sebesar buah kurma.
  • "Baiklah Tuan, akan aku patuhi perintahmu. Terimalah koin emas pemberianku ini sebagai rasa terimakasihku," jawab wanita tua itu. Simkath tersenyum.
  •      Sore ini ia merasa cukup puas dengan koin -- koin yang ia peroleh. Sehingga ia memutuskan untuk menutup lapak miliknya lebih awal dari biasanya.
  •        "Permisi Tuan..." sebuah suara lelaki tua yang parau mengagetkan Simkath.
  • "Iya, maaf Tuan, saya sudah tutup dan mau pulang. Besok saja Tuan datang kembali." jawab Simkath datar tanpa memperdulikan kehadiran lelaki tua itu.
  •        "Tuan, bantu aku..." ucap lelaki tua itu sambil memegang tangan kanan Simkath.
  •      Seketika itu juga aliran darah Simkath terasa berhenti mengalir. Genggaman tangannya dingin seperti es. Sebuah kekuatan besar terpancar darinya. Simkath bisa merasakannya.
  •             "A...apa yang bisa aku lakukan untukmu Tuan?" tanya Simkath terbata -- bata.
  •             "Ikutlah denganku..." jawab lelaki tua itu.
  • ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun