Mohon tunggu...
luthfi mutaali
luthfi mutaali Mohon Tunggu... pembelajar/dosen/peneliti/konsultan

saya meminati bidang pembangunan wilayah, tata ruang, ekonomi regional dan perencanaan lingkungan hidup

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

MENOLAK PROGRAM MBG, MAKAN "BASI" GRATIS. Berhenti Bermain Api dengan Kesehatan Rakyat

21 September 2025   04:53 Diperbarui: 21 September 2025   04:53 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://asset-2.tribunnews.com/tribunnews/foto/bank/images/Keracunan-MBG-Bengkulu.jpg

MENOLAK PROGRAM MBG, MAKAN "BASI" GRATIS. Berhenti Bermain Api dengan Kesehatan Rakyat.

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digaungkan sebagai solusi ambisius untuk mengatasi stunting dan meningkatkan gizi anak Indonesia, kini justru terperosok dalam pusaran kritik tajam dan keprihatinan mendalam. Di tengah janji mulia untuk menyehatkan generasi penerus bangsa, realitas pahit justru terbentang di hadapan kita: maraknya kasus keracunan massal, mutu makanan yang dipertanyakan, serta pertanyaan besar mengenai pembiayaan dan skala prioritas yang menyertainya. Program ini bukan sekadar sebuah kebijakan publik, melainkan sebuah ujian integritas dan kapasitas negara dalam menjalankan amanah konstitusi untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Perkembangan MBG sejak awal kemunculannya memang disambut antusias, namun gelombang kritik yang muncul semakin menguatkan kekhawatiran akan potensi kegagalan program yang berakibat fatal, mengancam kesehatan dan masa depan generasi penerus.

Data dan fakta yang beredar di media massa belakangan ini sungguh mencengangkan dan memilukan, menyoroti sisi gelap dari implementasi MBG. Berita dari Tribunnews.com (2025) menginformasikan bahwa sedikitnya 5.360 anak dilaporkan mengalami keracunan akibat mengonsumsi makanan dari program MBG, sebuah angka yang sangat mengkhawatirkan dan menunjukkan adanya titik-titik rawan yang tidak teridentifikasi atau bahkan terabaikan dalam proses pelaksanaannya. Kompas.com (2025) juga melaporkan permintaan maaf dari Istana terkait banyaknya kasus keracunan massal ini, sekaligus janji untuk melakukan evaluasi, yang tentu saja menjadi respons yang sangat terlambat namun setidaknya menunjukkan adanya kesadaran akan masalah yang terjadi. Keracunan massal ini bukan hanya sekadar insiden kecil, melainkan sebuah alarm keras yang mengindikasikan adanya kegagalan serius dalam rantai pasok, kualitas bahan baku, proses pengolahan, hingga distribusi makanan yang seharusnya memenuhi standar kesehatan dan gizi yang ketat. Dampaknya tidak hanya pada kesehatan fisik anak-anak yang menjadi korban, tetapi juga pada psikologis orang tua, kepercayaan publik terhadap program pemerintah, dan tentu saja, reputasi bangsa di mata internasional yang semakin tergerus oleh ketidakmampuan mengelola program dasar.

Kritik yang berkembang terhadap MBG ini sangatlah substansial dan tidak bisa diabaikan begitu saja oleh pemerintah. Dari perspektif sosial politik, muncul pertanyaan mendasar mengenai transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran MBG yang disebut-sebut mencapai triliunan rupiah (Republika.co.id, 2025). Beban negara untuk membiayai program sebesar ini tentu sangat besar, dan jika tidak dikelola dengan efisien serta tepat sasaran, dapat menggerogoti anggaran untuk program-program prioritas lain yang mungkin lebih mendesak, seperti perbaikan infrastruktur kesehatan dasar, peningkatan kualitas pendidikan, atau program pengentasan kemiskinan yang lebih terstruktur dan telah terbukti dampaknya. Dari sisi kesehatan, mutu makanan yang disajikan seringkali menjadi sorotan utama, dengan laporan mengenai penggunaan bahan baku yang tidak segar, kurangnya variasi menu yang bergizi seimbang, hingga praktik kebersihan yang meragukan, semuanya berkontribusi pada potensi keracunan dan rendahnya nilai gizi yang diharapkan dari program ini. Ketiadaan skala prioritas yang jelas dalam penentuan sasaran penerima manfaat juga menjadi poin kritik yang signifikan, di mana program ini terkesan belum menyentuh segmen yang paling membutuhkan secara merata atau justru tumpang tindih dengan program bantuan pangan lainnya yang sudah berjalan, menciptakan inefisiensi anggaran.

Menyikapi situasi genting ini, keputusan untuk melakukan evaluasi total terhadap program MBG bukanlah pilihan yang bisa ditunda, melainkan keharusan mutlak demi keberlanjutan dan kredibilitas negara. Namun, evaluasi saja tidak cukup jika tidak diikuti dengan perbaikan mendesak yang signifikan atau bahkan penghentian program untuk dialihkan kepada program rakyat yang lebih mendesak dan tepat sasaran, mengingat kasus keracunan yang terus berulang. Jika kita memilih untuk melanjutkan MBG, maka perbaikan harus dilakukan secara drastis dan menyeluruh, mulai dari peninjauan ulang mekanisme pengadaan bahan baku yang harus melibatkan standar ketat dan pengawasan berlapis dari pihak independen, hingga pelatihan komprehensif dan sertifikasi bagi para juru masak dan penyedia layanan konsumsi agar memenuhi standar higienitas dan gizi. Skema pengawasan kualitas makanan juga perlu ditingkatkan secara berkala dan independen, tidak hanya mengandalkan laporan internal yang rentan bias, melainkan melibatkan laboratorium independen dan pemantauan lapangan yang ketat. Namun, jika melihat tingkat kegagalan yang sudah terjadi dan potensi kerugian yang lebih besar di masa depan, opsi untuk menghentikan sementara atau bahkan menghentikan total program MBG dan mengalihkan dananya ke program-program yang lebih terbukti efektif dan lebih menyentuh akar permasalahan gizi dan kesejahteraan masyarakat bisa menjadi alternatif yang lebih bijak dan bertanggung jawab.

Apabila pemerintah memutuskan untuk menempuh jalan evaluasi total dan memperbaiki MBG, maka kebijakan dan strategi yang harus segera dilakukan mencakup beberapa aspek krusial yang fundamental. Pertama, pembentukan tim evaluasi independen yang terdiri dari para ahli gizi, pakar kesehatan masyarakat, akademisi, serta perwakilan masyarakat sipil yang memiliki rekam jejak integritas tinggi, untuk melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh aspek program, mulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi, hingga dampak yang ditimbulkan. Kedua, diperlukan peninjauan ulang secara fundamental terhadap konsep MBG itu sendiri, apakah model pemberian makanan langsung adalah solusi paling efektif ataukah model pemberdayaan masyarakat melalui bantuan tunai bersyarat untuk pembelian pangan bergizi bisa lebih tepat sasaran, memberdayakan, dan mengurangi risiko keracunan. Ketiga, jika program dilanjutkan, mekanisme pengawasan dan penegakan hukum terhadap penyedia layanan yang tidak memenuhi standar harus diperkuat secara signifikan, dengan sanksi yang tegas, transparan, dan dapat memberikan efek jera bagi pelanggar. Keempat, transparansi anggaran dan pelaporan kinerja program harus dibuka secara luas kepada publik, sehingga masyarakat dapat turut serta mengawasi dan memberikan masukan konstruktif untuk perbaikan berkelanjutan (Nugroho & Wijaya, 2024). Jika keputusan diambil untuk menghentikan MBG dan mengalihkannya, maka prioritas utama adalah melakukan pemetaan ulang kebutuhan gizi dan kesehatan masyarakat yang paling mendesak, serta merancang program pengganti yang lebih terukur, tepat sasaran, dan berkelanjutan, yang fokus pada solusi jangka panjang, bukan sekadar solusi instan yang berisiko.

Program-program yang terbukti efektif dalam menurunkan stunting dan meningkatkan kesehatan, seperti program perbaikan gizi ibu hamil dan menyusui, serta program imunisasi yang komprehensif, perlu diperkuat dan diperluas jangkauannya secara merata ke seluruh penjuru negeri. Selain itu, investasi pada edukasi gizi dan kesehatan sejak dini, baik di lingkungan keluarga maupun sekolah, harus menjadi prioritas utama agar masyarakat memiliki pengetahuan dan kesadaran yang memadai untuk memilih dan mengonsumsi makanan bergizi secara mandiri, yang merupakan fondasi kesehatan jangka panjang. Kredibilitas pemerintah dalam menjalankan program-program kerakyatan sangat bergantung pada kemampuannya untuk belajar dari kesalahan, bersikap terbuka terhadap kritik, dan yang terpenting, mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan rakyat di atas segala pertimbangan politik dan pencitraan. Bermain api dengan kesehatan anak bangsa melalui program yang cacat implementasi adalah sebuah dosa besar yang tidak terampuni, dan sudah saatnya pemerintah Indonesia untuk segera menghentikan permainan berbahaya ini dan fokus pada solusi yang benar-benar menyehatkan, bukan justru membahayakan dan menciptakan masalah baru yang lebih kompleks.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun