Mohon tunggu...
luthfi hafizh rizqullah
luthfi hafizh rizqullah Mohon Tunggu... pemuda

Perkenalkan, aku adalah penyair yang terbuang — tumbuh dari luka-luka yang lebih dalam dari parut nadi. Tulisanku bukanlah bait cinta yang lembut bersahaja, ia berdetak dalam irama yang keras menggemakan sumpah. Ini bukan sekadar puisi, bukan narasi romansa, namun mantra yang lahir dari kumpulan derita. Dalam tinta hitam, aku melakar saksi kesakitan, namun berhati-hatilah pada mereka yang berdusta, sebab puisiku akan berubah menjadi celaka. Perkenalkan, aku adalah penyair yang tak dirindu. Dari duka aku menempa cinta yang pilu. Dalam tiap baitku, tersimpan dendam, doa, dan arah — di sanalah letak magis tulisanku yang liar dan megah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kita Adalah Bentuk Kontradiksi

27 Juli 2025   23:10 Diperbarui: 28 Juli 2025   02:47 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Kita adalah bentuk kontradiksi yang memaksa untuk meniti lalu hanya berakhir dengan tersakiti dan kembali merindu di kontemplasi pada pagi hari. Kita saling berbagi afeksi lalu pada akhirnya yang tersisa hanya punggung yang saling membelakangi. Kita berusaha apatis tapi nyatanya diam-diam masih mengais. Kita sama-sama tahu bahwa mungkin renjana bukan lagi diksi bagi kita berdua. Kita sama-sama tahu bahwa mungkin anomali di dada sudah mair sejak lama dan kita mempertahankan semua hanya karena sebatas empati. Lalu kita sama-sama memprakarsai finis karena kita sudah terlampau statis jua giris. Kemudian kita berusaha untuk merelakan presensi masing-masing yang telah lesap meski kenangan dalam jemala enggan binasa. Namun setelah kulalui hari-hari tanpamu di sini, aku sedikit bimbang mengenai alasan mengapa kita menjadi teramat renggang dan berakhir rumpang? Atau barangkali rindu tak lagi pulang, atau hati kita yang lupa cara bertandang?

Padahal kita pernah menjadikan eksistensi satu sama lain serupa bintang yang benderang. Tapi aku hanya mampu membisu, enggan bertukar aksara karena takut mengucap rindu bercampur pilu yang sudah terlalu lama dipupuk waktu. Lambat laun, aku mulai mencoba mengerti bahwa mungkin kau terlampau kamali untukku yang begitu tak tahu diri. Kasih, aku ini minim diksi dan tak mengerti cara menyampaikan afeksi sedang dirimu justru sebaliknya. Kau cerah dan indah, serupa jingga yang selalu kukagumi dari teras depan rumahku. Senyummu merevitalisasi renjana dan membunuh segala lelah serta mara: kau terlampau sempurna. Hingga kini, aku tetap tak terima dan marah pada semesta yang tidak mengizinkan kita. Aku marah padaku yang gagal membuatmu melayang-layang dan berbunga-bunga. Aku marah padaku yang tak mengerti segala tanda sakit dan lelah. Aku marah dan tak terima padaku yang tak kunjung paham bahwa hanya aku yang konstan mencintaimu sampai akhir dari cerita kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun