Mohon tunggu...
Money

MEA, dari Peluang Menjadi Ancaman

25 Februari 2018   18:10 Diperbarui: 25 Februari 2018   18:26 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 adalah sebuah kerja sama ekonomi ASEAN bentuk perdagangan bebas antarnegara-negara ASEAN dengan tujuan terciptanya kestabilan ekonomi anggota-anggota ASEAN. 

MEA dirancang untuk mewujudkan Wawasan ASEAN 2020 dengan tiga pilar yang mendasari terlaksananya program ini termasuk didalamnya adalah bidang ekonomi. Salah satunya dari program tersebut adalah Masyarakat Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Sosio-Cultural Community/ASCC). Hubungan kerja sama dalam bidang ini tentunya sangat luas dan multisektor. Sebagai kesatuan dalam bidang ini tentunya ada beberapa hal yang menjadi fokus bersama, salah satunya adalah ketenagakerjaan.

Awal isu datangnya MEA ini tidak terlalu menjadi masalah bagi masyarakat banyak. Bahkan, beberapa menganggap ini adalah sebuah peluang karena dapat dengan mudah bertransaksi di kawasan regional ASEAN. Akan tetapi, semenjak diberlakukannya MEA pada tanggal 31 Desember 2015, implementasi dari MEA ini belum terlihat nyata. 

Harmonisasi sertifikasi dan standardisasi tenaga kerja di berbagai sektor yang diprioritaskan masih belum berjalan. Perbedaan persepsi antarnegara ASEAN profesi mana yang harus diprioritaskan dalam Mutual Recognition Agreement, yaitu kesepakatan atas produk atau profesi yang disetujui pada tahun 2007. Negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia, dan Thailand mendorong profesi akuntan, arsitek, dokter gigi, dokter umum, insinyur, perawat, surveyor, dan pekerja di bidang pariwisata segera untuk distandardisasi. Namun, kedelapan profesi ini hanya mencakup sekitar 5% dari populasi tenaga kerja usia produktif di Indonesia.

Hal tersebut tentu menjadi masalah bagi Indonesia untuk menghadapi persaingan tenaga kerja baik domestik maupun asing. Hal tersebut didukung pula dengan pendidikan Indonesia yang belum relevan terhadap standardiasi yang dibutuhkan dalam profesi. Terlebih lagi masih banyak tenaga kerja Indonesia yang belum tersertifikasi dengan baik.

Sebenarnya kemampuan masyarakat Indonesia sudah mampu untuk bersaing. Yang menjadi masalah adalah kemampuan mereka belum sepenuhnya diakui oleh industri maupun standar internasional. Seperti contoh, petani tembakau di Wonosobo bisa menentukan kualitas daun tembakau yang baik hanya dengan meraba dan menciumnya saja. Akan tetapi, petani-petani seperti ini tidak dapat berkerja sebagai analis daun di industri rokok. Hal ini disebabkan karena belum adanya sertifikasi petani ini.

Kemudian melihat makin maraknya tenaga kerja asing yang sudah berada di Indonesia, tentunya perspektif masing-masing dari individu apakah ini peluang atau ancaman. Data mengatakan perbandingan jumlah tenaga kerja asing dengan angkatan kerja di Indonesia adalah 0,05% yaitu 0,03% dari penduduk Indonesia. Memang masih jauh dari negara tetangga kita seperti Singapura dan Malaysia yang hampir setengah dari angkatan kerja mereka adalah tenaga kerja asing. Namun, negara-negara tersebut sudah siap menerima tenaga kerja asing dengan semakin meratanya sumber daya manusia lokal.

Walaupun jumlah tenaga kerja asing di Indonesia sedikit akan tetapi jumlah pengangguran di Indonesia masih tinggi yaitu mencapai angka 11%. Badan Pusat Statistik (BPS) menjelaskan, bahwa pada tahun 2017 telah terjadi kenaikan jumlah pengangguran di Indonesia dengan angka 7,03 orang pada tahun 2016 menjadi 7,04 juta orang. 

Negara seperti Singapura dan Malaysia melonggarkan tenaga kerja asing terutama imigran dari Eropa dan Asia karena pendapatan perkapita mereka sudah tinggi. Ditambah tingkat pertambahan industri mereka sudah tinggi, oleh karena hal itu Indonesia masih jauh dalam hal ini.

Menghadapi hal ini, pekerjaan terbesar adalah meningkatkan kompetensi, daya saing, produktivitas, dan sertifikasi tenaga kerja Indonesia. Ini adalah pekerjaan bersama baik pemerintah, dunia usaha maupun serikat pekerja untuk mendorong tenaga kerja Indonesia menjadi lebih baik. Indonesia seharusnya juga berinisiatif untuk mendorong agar Mutual Recognition Agreement itu tidak hanya dikunci pada delapan bidang profesi itu. 

Indonesia harus perluas pada bidang-bidang yang kualifikasi banyak di Indonesia. Disitu adalah potensi Indonesia yang besar untuk memproteksi atau membentengi dari kebanjiran tenaga kerja asing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun