Mohon tunggu...
Andi Ronaldo Marbun
Andi Ronaldo Marbun Mohon Tunggu... Lainnya - Detektif informasi, pemintal cerita, dan pemuja mise-en-scène

Everyone says that words can hurt. But have they ever been hurt by the deafening silence? It lingers like the awkward echo after a bad joke, leaving you wondering if you've been forgotten, ostracized, or simply become so utterly uninteresting that even crickets find your company unbearable.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Ancaman Eksistensial dari Garuda Indonesia: Berinovasi atau Tergerus?

8 April 2024   15:31 Diperbarui: 8 April 2024   15:40 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Layanan Kabin dari Garuda Indonesia (Sumber: Skytrax)

Garuda Indonesia, maskapai penerbangan nasional Indonesia, telah lama memegang posisi terkemuka dalam industri penerbangan Asia Tenggara. Akan tetapi, beberapa tahun terakhir telah memperlihatkan kelemahan-kelemahan penting yang berasal dari kemunduran finansial, tantangan operasional, dan pasar yang berubah dengan cepat. Hal yang menjadi perhatian khusus termasuk pendekatan Garuda Indonesia yang tampaknya lambat dan ragu-ragu terhadap modernisasi armada, perluasan jaringan internasional, dan peningkatan layanan penerbangan. Artikel ini menawarkan analisis singkat, yang menggarisbawahi strategi hati-hati ini yang kontras dengan langkah agresif pesaing regional dan memeriksa potensi konsekuensi bagi daya saing jangka panjang maskapai kebanggaan bangsa ini.

Modernisasi Armada: Keharusan untuk Efisiensi dan Inovasi

Landasan dari setiap maskapai penerbangan abad ke-21 yang sukses adalah armada modern dan hemat bahan bakar. Pesawat tua tidak hanya menimbulkan biaya perawatan yang lebih tinggi dan menghabiskan lebih banyak bahan bakar, tetapi juga sering gagal memberikan pengalaman yang berpusat pada kepuasan penumpang yang diharapkan oleh pelancong modern. Sementara strategi armada Garuda Indonesia melibatkan kombinasi penyewaan dan pembelian pesawat, ada kekurangan fokus yang konsisten pada akuisisi pesawat hemat bahan bakar generasi terbaru. Meskipun maskapai ini telah menggunakan beberapa pesawat Boeing 737 MAX dan Airbus A330neo, rata-rata usia armada secara keseluruhan masih tetap lebih tinggi daripada banyak pesaing utama regional.

Perbedaan ini menjadi sangat jelas jika dibandingkan dengan Singapore Airlines, tolok ukur untuk perjalanan premium di kawasan Asia Pasifik. Singapore Airlines mengoperasikan armada yang jauh lebih muda dengan 149 pesawat, termasuk 62 Airbus A350, 14 Airbus A380, dan 21 Boeing 787. Pesawat canggih ini mendukung jaringan luas Singapore Airlines, hingga mencapai rute jarak jauh di berbagai negara Eropa Barat dan Amerika Utara, termasuk Amerika Serikat. Anehnya, bahkan maskapai penerbangan yang menghadapi kesulitan keuangan baru-baru ini telah memprioritaskan modernisasi armada. Malaysia Airlines, meskipun menghadapi tantangan, mempertahankan jaringan regional yang cukup luas yang membentang ke Vietnam, Thailand, India, Singapura, Kamboja, dan Taiwan dengan 7 pesawat Airbus A350 miliknya. Demikian pula, armada Thai Airways International mencakup campuran beragam dari 21 Airbus A350 dan 8 Boeing 787, yang memungkinkan jaringan global mereka yang mencakup Jerman, Prancis, Swedia, Swiss, dan Inggris. Komitmen Vietnam Airlines terhadap modernitas juga terlihat jelas dengan 14 Airbus A350 dan 15 Boeing 787 di armada mereka, yang memfasilitasi jaringan mereka yang berkembang hingga mencapai Prancis, Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat.

Ekspansi Jaringan: Kehilangan Peluang di Pasar yang Dinamis

Indonesia, negara kepulauan luas dengan kelas menengah yang berkembang pesat, mewakili pasar dengan potensi besar untuk perjalanan udara. Meskipun demikian, ekspansi jaringan internasional Garuda Indonesia relatif terbatas dalam beberapa tahun terakhir. Sementara maskapai penerbangan mempertahankan kehadirannya di destinasi regional utama seperti Singapura, Bangkok, Tokyo, dan Hong Kong, maskapai ini lamban dalam membangun jejak yang kuat di pasar negara pada kawasan Timur Tengah, India, serta lebih jauh ke Eropa dan Amerika. Pendekatan hati-hati ini sangat kontras dengan penetrasi tegas ke pasar Asia-Pasifik termasuk Indonesia melalui Jakarta, Medan, dan Denpasar yang ditunjukkan oleh maskapai penerbangan seperti Qatar Airways, Emirates, dan Turkish Airlines. Konektivitas Garuda Indonesia yang terbatas pada destinasi dengan permintaan tinggi berpotensi menghambat kemampuannya untuk menarik pelancong bisnis yang menguntungkan dan wisatawan dengan pengeluaran tinggi, yang menyebabkan hilangnya peluang pendapatan.

Urgensi penyelarasan kembali jaringan strategis menjadi jelas ketika mempertimbangkan angka pariwisata Indonesia. Meskipun membanggakan sebagai salah satu negara dengan jumlah kedatangan turis internasional tertinggi di Asia Tenggara (dan kesepuluh di Asia-Pasifik) -- 15,5 juta pengunjung pada tahun 2019 -- Indonesia masih tertinggal di belakang Vietnam (18,0 juta), Malaysia (26,1 juta), dan Thailand (39,8 juta). Sementara 72% turis masuk berasal dari Asia Timur dan Pasifik, 13% yang cukup besar datang dari Eropa -- menyoroti pasar besar yang dapat dilayani dengan lebih baik oleh jaringan yang lebih luas, termasuk Garuda Indonesia. Selain itu, penerimaan pariwisata internasional, meskipun substansial pada $18,41 miliar pada tahun 2019, tertinggal dari pesaing seperti Malaysia ($19,82 miliar), Singapura ($20,05 miliar), dan Thailand ($60,52 miliar).

Inovasi Layanan: Indikator Kinerja yang Mengkhawatirkan

Garuda Indonesia secara tradisional memiliki reputasi untuk layanan yang sangat baik, terutama dalam penawaran Kelas Bisnisnya. Namun, maskapai ini tampaknya telah kehilangan reputasinya dalam hal konfigurasi kabin, sistem hiburan dalam penerbangan (IFE), dan fasilitas penumpang lainnya. Di banyak rute internasional, Garuda terus mengoperasikan pesawat lama dengan kursi angled-flat di Kelas Bisnis, sementara pesaing telah beralih ke kursi fully lie-flat, menjamin kenyamanan dan privasi yang superior. Selain itu, sistem IFE pada beberapa pesawat lama terasa usang, dengan konten terbatas dan layar lebih kecil dibandingkan dengan penawaran yang lebih canggih yang ditemukan di maskapai lain. Kekurangan ini berisiko membuat penumpang merasa tidak nyaman dan menjadi semakin cerdas memilih maskapai lainnya.

Pada tahun 2023, Garuda Indonesia menempati peringkat ke-30 dari 100 maskapai penerbangan terbaik dunia versi Skytrax. Meskipun naik satu peringkat dari tahun 2022, kenaikan ini tidak cukup untuk menutupi penurunan drastis dari posisi 7 yang pernah diraih pada tahun 2014. Penurunan ini menunjukkan tren yang mengkhawatirkan dalam kinerja Garuda Indonesia, dan menandakan kegagalannya untuk mengikuti perkembangan industri penerbangan yang pesat. Lebih lanjut, peringkat Garuda Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan penurunan yang signifikan dengan raihan terburuk sebelumnya yang hanya pada posisi 15 pada tahun 2021. Penurunan ini menunjukkan bahwa Garuda Indonesia kehilangan daya saingnya dengan maskapai penerbangan lain di dunia. Hal ini diperparah dengan hilangnya gelar World's Best Airline Cabin Crew pada tahun 2022, setelah meraih gelar tersebut hingga lima kali beruntun. Kehilangan gelar ini (walaupun hanya setahun) menunjukkan bahwa Garuda Indonesia tidak hanya tertinggal dalam hal modernisasi armada dan jaringan penerbangan, tetapi juga dalam hal layanan kepada penumpang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun