Awal hari yang baru-sebuah hadiah Tuhan yang selalu ku kagumi dengan mata penuh decak. Seperti lukisan yang tak pernah sama, setiap pagi membawa keajaiban tersendiri yang mampu menghentakkan jiwa dari tidurnya yang lelah.
Cahaya mentari pagi kini menyusup lembut di setiap celah-celah pepohonan yang berdiri tegak di depan rumah. Sinar keemasan itu bergerak seperti jari-jari malaikat, menyentuh setiap dedaunan dengan kelembutan yang tak tergambarkan. Dan entah bagaimana caranya, kilau cahaya itu juga menyusup ke dalam relung hatiku-bagaikan harapan baru yang mulai bersinar setelah malam panjang penuh kegelisahan.
Apakah sinar ini akan bertahan lama?
Ataukah akan menjadi redup pada akhirnya, seperti hari-hari sebelumnya?
Pertanyaan itu mengambang di pikiranku layaknya kabut tipis di pagi hari. Aku tersenyum dalam lamunanku - senyuman yang pahit manis, penuh dengan penerimaan yang telah ku pelajari dengan susah payah. Bukan berarti aku orang yang memiliki optimisme buta, namun sekaligus juga tak mematikan diriku dengan rasa pesimisme yang menghancurkan.
Aku hanya belajar - ya, terus belajar - dan melatih diriku untuk bisa menerima setiap keadaan yang kadang kala berada di luar kendali, di luar keinginan, bahkan di luar logika yang ku pahami. Karena aku tahu, jika aku tak melatih hati untuk lentur menghadapi badai, maka aku akan terkubur dalam keputusasaan ketika gelombang besar itu datang menghantam.
Perlahan, Mama sudah bisa makan - walau hanya sedikit, walau dengan susah payah, walau setiap suapan terasa seperti perjuangan berat. Tapi ini... ah, ini cukup memberikan kekuatan yang luar biasa bagiku. Seperti oasis kecil di tengah padang gurun yang kering, setiap tetes kemajuan kecil itu menjadi sumber kehidupan bagi jiwaku yang haus akan keajaiban.
Mungkin Tuhan benar-benar mendengarkan doa-doaku yang tersendat itu. Mungkin Dia juga mendengar bisikan hati orang-orang yang ikut mendoakan Mama - mereka yang bahkan mungkin tak kukenal namun memiliki hati yang cukup besar untuk berbagi kepedulian. Ada kekuatan dalam doa, ada kehangatan dalam keprihatinan yang dibagi.
Tuhan...
Setelah hampir satu bulan berlalu - satu bulan yang terasa seperti satu dekade - di saat-saat ketika Mama sudah tidak kuat lagi, bahkan hampir menyerah pada penyakit yang menggerogoti tubuhnya, Engkau masih memberikan harapan. Secercah cahaya di ujung terowongan yang gelap.
Namun hatiku... ah, hatiku yang lemah ini... aku hanya berharap Engkau tidak memberikan harapan yang tiba-tiba sirna seperti embun pagi yang menghilang ditelan sinar matahari. Jangan biarkan hatiku terlalu terikat pada keajaiban sementara, lalu merasakan kehancuran yang lebih dalam ketika semua berubah.
Ah, Tuhan...
Mengapa aku jadi menuntut-Mu dengan doa yang seperti ini?
Aku terdiam sejenak, merasakan berat kata-kata yang baru saja terlontar dari lubuk hatiku yang paling dalam. Sebuah kesadaran pahit mulai merayap: betapa pun aku mencintai Ibuku dengan segenap jiwa ragaku, tapi dia adalah kepunyaan-Mu. Bahkan sedikitpun aku tak berhak atasnya. Dia hanyalah amanah sementara yang Engkau titipkan dalam hidupku.