Namun, di tengah penantian itu, jalan pintas ternyata terbuka lebar. Kuota tambahan yang semestinya menjadi berkah, justru mengalir ke travel-travel besar. Beberapa di antaranya bahkan dimiliki atau dikaitkan dengan tokoh agama berpengaruh, yang ironisnya justru memanfaatkan kepercayaan umat untuk memperkaya diri. Fakta ini menambah lapisan luka: korupsi kuota haji bukan hanya dilakukan oleh pejabat atau birokrat, tetapi juga oleh mereka yang seharusnya menjadi panutan spiritual.
Kerakusan yang Menggerus Kepercayaan Publik
Dampak dari korupsi kuota haji ini jauh melampaui angka kerugian negara. Ada luka psikologis yang ditanggung jutaan calon jamaah haji. Mereka yang harus menunggu puluhan tahun merasa diperlakukan tidak adil ketika melihat orang lain melesat cepat dengan jalur transaksional.
Lebih jauh, kepercayaan publik terhadap negara pun terkikis. Jika pengelolaan ibadah saja bisa dikapitalisasi, bagaimana rakyat bisa percaya bahwa birokrasi lain dijalankan dengan adil? Lebih berbahaya lagi, simbol religius ikut ternoda. Ketika ibadah haji yang seharusnya menjadi simbol kesucian diperdagangkan, maka yang runtuh bukan hanya sistem birokrasi, melainkan sendi moral bangsa.
Sejarah menunjukkan bahwa setiap bangsa runtuh bukan semata karena serangan luar, tetapi karena kebusukan dari dalam. Aristoteles pernah menulis bahwa keadilan adalah tujuan tertinggi negara. Jika rasa keadilan itu hilang, maka yang tersisa hanyalah keruntuhan moral.
Peran Kementerian Haji dan Umrah: Harapan atau Sekadar Formalitas?
Di tengah krisis ini, Presiden baru saja melantik Menteri Haji dan Umrah sebagai bagian dari kabinet besar. Kementerian baru ini diharapkan menjadi ujung tombak dalam memperbaiki tata kelola ibadah haji. Namun, publik masih bertanya: apakah kementerian ini akan benar-benar bekerja untuk jamaah, atau sekadar menambah lapisan birokrasi?
Kementerian Haji dan Umrah memikul beban besar: mengembalikan kepercayaan publik, menata distribusi kuota secara adil, serta memastikan travel-travel tidak lagi memperjualbelikan hak jamaah. Tugas ini tidak mudah, karena jejaring kepentingan yang melilit sudah begitu dalam. Namun, tanpa keberanian politik, semua janji perbaikan hanya akan menjadi retorika kosong.
Momentum Reformasi Tata Kelola Haji
Kasus ini semestinya menjadi titik balik. Ada tiga hal mendesak yang harus segera dilakukan. Pertama, distribusi kuota harus transparan dan berbasis sistem digital yang bisa diakses publik. Rakyat berhak tahu siapa yang berangkat, dengan dasar apa, dan bagaimana kuota tambahan dipakai. Kedua, pengelolaan dana haji harus profesional, amanah, dan tidak dipolitisasi. Ketiga, penegakan hukum harus tanpa pandang bulu. Siapa pun yang terlibat dalam korupsi kuota haji, baik pejabat maupun tokoh agama, harus diproses hukum secara adil.
Dengan lebih dari 5,3 juta calon jamaah yang kini masuk daftar tunggu, keberanian melakukan reformasi akan menjadi ukuran sejauh mana negara benar-benar hadir.