Hampir semua orang pernah curhat atau dicurhati ketika seseorang mengalami masalah. Curhat kepada orang-orang terdekat, seperti keluarga, teman atau pasangan adalah salah satu cara yang sering dilakukan untuk mengurangi beban pikiran.Â
Ketika curhat pada orang lain, respon apa yang biasanya Anda dapatkan? Atau, jika ada orang yang curhat kepada Anda, respon seperti apa yang biasanya Anda berikan?
Seringkali ketika kita curhat atau dicurhati seseorang, respon yang dilontarkan adalah kata-kata positif, seperti:
"Sabar ya"
"Semangat ya"
"Coba lihat sisi positifnya"
"Udah deh lupain aja"
"Yaudah deh nggak apa-apa, ntar biar Tuhan yang bales"
dan sebagainya.
Sekilas kata-kata positif seperti itu terdengar bijak dan memotivasi. Tapi tahukah Anda bahwa kata-kata tersebut sebenarnya adalah contoh dari toxic positivity?Â
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity bisa diartikan sebagai suatu pola pikir optimis yang fokus pada emosi positif secara berlebihan di berbagai macam situasi dan menolak serta menganggap remeh emosi yang sebenarnya dirasakan saat itu.Â
Intinya adalah orang yang mengidap toxic positivity akan terus-menerus menipu diri sendiri dengan menganggap bahwa semua hal baik-baik saja. Padahal kondisi yang dialaminya jelas tidak baik-baik saja.Â
Kalau Anda pernah mendengar orang berkata, "tetap tersenyum walau hati menangis", kurang lebih begitulah gambaran toxic positivity.Â
Seberapa bahaya Apakah Toxic Positivity?Â
"Emang salah ya kalau kita menyemangati orang yang sedang ada masalah dengan kata-kata positif?"
Tidak ada yang salah dengan menyemangati atau memotivasi mereka yang sedang punya masalah. Tapi, dengan mengucapkan kata-kata yang terindikasi toxic positivity tadi bukan cara yang bijak.Â
Alih-alih membuat mereka termotivasi sehingga bangkit dari keterpurukan, bisa jadi mereka malah merasa jengkel atau semakin sedih.Â
Apalagi kalau Anda mulai membanding-bandingkan masalah yang dialami orang tersebut dengan masalah Anda atau orang lain. Ia akan merasa tidak dihargai dan Anda dianggap meremehkan masalah yang dialaminya.
Lalu, seberapa bahaya apakah toxic positivity itu?Â
1. Tidak dapat mengidentifikasi emosi atau perasaannya sendiriÂ
Hal ini akan membuat pengidapnya tidak dapat berpikir realistis sehingga kesulitan menemukan solusi yang tepat dari masalah tersebut.Â
2. Mematikan rasa empatiÂ
Orang yang curhat, entah yang cuma butuh didengar atau sekalian minta saran, pasti berharap agar setelah curhat bisa lebih tenang dan menemukan jalan keluar.
Jika toxic positivity dialami oleh orang yang curhat, dia akan malu utnuk mengakui emosi negatifnya.Â
Sementara, jika yang mengidapnya adalah orang yang dicurhati, ia bisa merusak suasana karena komentarnya yang menyakitkan.Â
Kalau begini caranya, orang yang curhat bukannya merasa lebih tenang malah merasa tidak dihargai dan diperhatikan.Â
3. Menimbulkan gangguan kesehatan mental, seperti stres berkepanjangan dan depresiÂ
Seseorang yang terus-menerus berpura-pura bahagia dan mengabaikan emosi negatifnya suatu saat emosi tersebut akan meledak. Ia tidak akan kuat lagi menanggung beban tersebut.Â
Jadi, bagaimana seharusnya sikap kita dalam menanggapi curhatan mereka?Â
1. Pahami bahwa setiap orang memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap suatu masalahÂ
Masalah boleh sama, namun penerimaan dan respon seseorang menghadapinya bisa jadi berbeda.Â
Misalnya, patah hati. Saya yakin pasti banyak yang pernah mengalami hal ini. Termasuk saya (uhuk~) dan teman-teman K-ner sekalian.Â
Tapi toleransi saya terhadap rasa sakit akibat patah hati bisa jadi berbeda dengan mereka. Toleransi ini nantinya akan menentukan respon kita terhadap masalah tersebut.Â
Ada yang meresponnya dengan segera move on, cari yang baru, walaupun sempat sedih dan nangis-nangis juga. Ada yang malah bersyukur hubungannya bubar. Bisa jadi karena pacarnya emang nyebelin bahkan abusive.Â
Tapi ada juga yang gara-gara patah hati jadi sangat selektif bahkan takut untuk menjalin hubungan baru. Apalagi kalau punya pengalaman pernah diselingkuhi.Â
Jadi, jangan memaksakan agar cara Anda dalam menghadapi masalah yang sama diterima oleh mereka. Mereka bukan Anda. Dan Anda bukan mereka.Â
2. Buang jauh-jauh pemahaman "good vibes only" atau cuma boleh berpikir positif sajaÂ
Emosi negatif itu wajar. Sama wajarnya dengan emosi positif.Â
Sayangnya kita terlalu sering didoktrin oleh lingkungan bahwa emosi negatif itu jelek dan salah. Yang baik dan benar adalah pikiran positif.Â
Having negative emotion doesn't mean you're a negative person.Â
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, terlalu sering memendam emosi negatif justru akan berdampak negatif pada kesehatan mental sehingga dapat memicu stres, depresi bahkan bunuh diri.
Jadi, kenapa kita harus menolak dan mengabaikan emosi negatif tersebut dengan berpura-pura bahagia?Â
3. Mendengarkan secara aktif (active listening) untuk dapat memahami masalah merekaÂ
Orang curhat itu biasanya ada dua tipe. Pertama, orang yang curhat tapi cuma butuh didengarkan keluh kesahnya. Atau tipe kedua, orang yang curhat selain butuh didengar juga sekalian minta pendapat dan saran.Â
Nah, daripada kita sok tahu, buru-buru menghakimi dan malah memberi saran yang menyesatkan, lebih baik kita dengarkan dulu cerita mereka sampai tuntas.Â
Biarkan mereka menumpahkan semua emosi dan perasaan itu sepuasnya. Kalau mereka ingin misuh-misuh (mengumpat) karena saking kesalnya, atau menangis bahkan, biarkan saja. Berikan mereka ruang dan waktu untuk meluapkannya.Â
Jika mereka hanya ingin didengar, dengarkan saja. Tidak usah banyak komentar.Â
Jika mereka meminta pendapat dan saran, berilah pendapat dan saran yang logis serta realistis.Â
Hal inilah yang sering saya lakukan ketika dicurhati orang.Â
Kalau mereka minta pendapat dan saran, biasanya saya akan ceritakan dulu pengalaman dan cara saya mengatasinya (kalau masalahnya sama). Tentu itu dari sudut pandang saya.Â
Tapi saya juga akan bilang bahwa itu hanya sebagai referensi. Tidak wajib diikuti 100% karena cara saya belum tentu yang terbaik untuknya. Sambil mendukung orang tersebut untuk menemukan cara terbaik dan ternyaman yang lebih cocok ia terapkan.Â
"Because my words are not Holy Book or constitution. You can agree to disagree."
4. Menyarankan atau mendukungnya untuk memperoleh bantuan dari tenaga profesional
Seseorang bisa saja memiliki masalah yang sangat berat bahkan sampai berpengaruh pada kesehatan mentalnya.Â
Jika Anda memiliki keluarga atau teman yang seperti ini dan Anda tidak tahu harus melakukan apa, Anda bisa menyarankan atau mendukungnya untuk mendapat bantuan dari tenaga profesional, seperti psikolog atau psikiater.Â
Karena siapa tahu kondisinya memang sudah pada tahap memprihatinkan sehingga memerlukan pertolongan dan perawatan dari yang lebih ahli.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI