Mohon tunggu...
LumbaLumba
LumbaLumba Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Mencoba berbagi kisah

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Gadis Tercantik di London (Perang Eropa)-27

16 April 2014   14:03 Diperbarui: 7 Juni 2023   22:41 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

        Arabel pun menembak. Stella seketika jatuh terkulai. Sebutir peluru menembus tubuhnya. Darah menggenang kemerahan.

------------------------               -----------------------

        Stella memejamkan matanya dengan tubuh gemetar.

        Mulut pistol Arabel menempel di keningnya. Rasa dingin logam menggigit kulit Stella. Napas gadis itu memburu. Detik demi detik terasa begitu lama. Kapan Arabel menarik pelatuknya?

        Mendadak wajah Arabel berubah masam.

        "Sudahlah, lebih baik kujadikan dirimu sandera," ujarnya singkat,"sekarang kita harus pergi dari sini. Aku tak mau rekan - rekanmu di MI5 mendahului datang."


        Tubuh Stella yang masih lemas ketakutan digelandang Arabel.

        Stella tidak tahu bahwa Arabel tak tega membunuhnya. Sebagai gantinya, kini timbul rencana nekat di benak Arabel. Gadis itu akan membawa Stella pergi bersamanya ke Spanyol. Rasanya tak ada pilihan lain. Tak mungkin melepaskan Stella karena ia akan mengontak MI5. Membunuhnya pun tak tega. Lalu bagaimana lagi?

        Kini Arabel melangkah menuju mobil Plymouth miliknya yang terparkir di pinggir jalan. Di sampingnya, Stella berjalan dengan wajah tegang. Seluruh ikatannya telah dilepas sejak tadi.

        Sambil berjalan Arabel menodongkan pistol ke arah Stella. Pistol tersebut ditodongkan dari balik jubah hitam yang dikenakannya. Hal itu dilakukan supaya tak memancing kecurigaan.

        Stella diam - diam melirik Arabel. Dalam pelarian ini Arabel menyamar sebagai pria. Tapi kenapa wajahnya senewen? Apa Arabel tak senang meninggalkan London?

        Stella tak tahu bahwa Arabel tengah mencemaskan hal lain. Uang sakunya dalam kondisi cekak. Arabel harus berhemat bila ingin sampai ke Spanyol. Sudah begitu, dirinya harus membiayai pula perjalanan Stella. Lupakan hotel dengan kasurnya yang empuk. Kini Arabel terpaksa mengajak Stella menggelandang di taman - taman kota Madrid.

        "Maaf, boleh kami bertanya sesuatu?"

        Arabel dan Stella menoleh.

        Seorang polisi tampak berdiri sambil mengangguk hormat. Muka Arabel langsung memerah. Ia menjadi tegang. Mau apa opsir ini?

        Tak jauh dari polisi tersebut, sekelompok polisi lain tengah berbincang - bincang. Mobil serta sepeda motor Harley-Davidson mereka terparkir rapi. Sungguh pemandangan tak terduga. Darimana mereka datang?

        Diantara mereka tampak seorang detektif kepolisian berpakaian preman sedang merokok. Pria berkumis tipis itu menatap Arabel tanpa berkedip.

        Saat itulah mendadak terjadi hal yang dicemaskan Arabel.

        Stella memberontak. Secara tak terduga gadis itu berlari menjauh. Arabel dan polisi itu seketika terkejut. Muncullah gerak refleks Arabel. Gadis itu mengangkat pistolnya untuk mengancam Stella. Moncong senjata tersebut menyeruak dari balik jubah dan terlihat oleh sang polisi.

        Polisi tersebut seketika mencabut pistolnya.

        Terdengar bunyi tembakan yang memekakkan telinga.

***

        Arabel terhuyung ke belakang. Tangannya yang memegang pistol nyaris terlempar. Ia tidak begitu siap saat menembak tadi.

        Para polisi yang tengah asik berbincang menoleh. Suara tembakan barusan mengagetkan mereka. Arabel bergerak mundur sementara Stella jatuh terkulai. Di dekat mereka sang polisi jatuh terkapar. Tangan kanannya memegang pistol yang belum sempat ditembakkan.

        Stella merintih kesakitan. Sebutir peluru telah menghujam punggungnya.

        Arabel telah menembak dua kali dalam waktu singkat. Begitu cepatnya tembakan itu hingga tak terlihat. Sekilas hanya tampak satu tembakan saja dilepaskan. Pertama yang jadi korban adalah Stella. Punggungnya tertembus peluru. Giliran berikutnya adalah sang polisi. Baru saja pistolnya selesai dikokang, peluru Arabel sudah menghajarnya.

        Stella kini tak bergerak lagi. Arabel sungguh tak sengaja menembaknya. Gadis itu menembak sang polisi namun satu butir peluru meleset, menyasar ke Stella. Arabel sangat menyesal. Ia tak mengira akan terjadi hal seperti ini.

        Perbuatan Arabel seketika mengundang kesiagaan polisi lain.

        Sekejap, terjadilah baku tembak seru di jalan yang lengang itu. Para polisi menembak Arabel dari berbagai penjuru. Arabel segera berlindung di balik kotak pos. Sesekali dibalasnya tembakan dari para petugas. Tidak disangka pelariannya akan berbuah seperti ini. Padahal dirinya tidak berniat menembak Stella dan sang polisi. Semua terjadi secara spontan.

        Tak lama kemudian peristiwa buruk menimpai Arabel. Pistolnya kini kosong. Peluru cadangan juga telah habis. Sudah tak ada lagi perlawanan yang dapat diberikan. Gadis itu hanya bisa tiarap di balik kotak pos sambil memejamkan mata.

        Detektif Morgan, detektif kepolisian yang berpakaian preman tadi, kini memberi kode. Ia menyuruh para polisi bergerak maju. Rupanya detektif tersebut sadar Arabel kehabisan peluru. Sekarang mereka bisa meringkusnya dengan mudah.

***

        Para polisi segera bergerak gesit mengamankan situasi.

        Sementara sebagian polisi mendekati persembunyian Arabel, dua polisi bergegas menolong para korban. Stella dan sang polisi yang terluka segera diangkut. Kebetulan saat itu ambulans sudah datang. Stella sendiri sudah hilang kesadaran saat dimasukkan ke mobil tersebut.

        "Cepat bawa ke rumah sakit. Kondisi gadis ini sudah kritis!" Seorang polisi berteriak pada petugas ambulans.

        Sementara tak jauh dari situ suasana tegang masih berlangsung. Sebagian polisi yang hendak menyergap Arabel kini sudah sampai di kotak pos.

        Para polisi itu masih muda - muda. Kebanyakan baru lulus dari akademi. Dengan tubuh gemetar, keenam polisi itu pun melongok ke balik kotak pos.

        "Tidak mungkin ... !" Terdengar seru kekecewaan dari mereka.

        Keenam polisi itu tak menjumpai apapun di situ. Arabel telah kabur. Entah bagaimana caranya. Dari kejauhan detektif Morgan bergegas mendekat karena mencium gelagat tak beres. Para polisi yang lain segera mengikuti komandan mereka dari belakang.

        Tak ada yang tahu Arabel bersembunyi di dalam kotak pos. Saat hampir putus asa karena kehabisan peluru, Arabel melihat pintu kotak terbuka sedikit. Sepertinya pak pos lupa menguncinya. Arabel pun segara masuk ke dalam kotak dan bersembunyi.

        Dan kemudian terjadilah hal yang menakjubkan. Atau mungkin lebih tepat dibilang menakutkan.

        Mendadak Arabel keluar dan melompat ke depan. Keenam polisi yang tadi hendak meringkusnya seketika menyongsong dengan pistol masing - masing. Namun Arabel sudah siap. Tangan kiri salah satu polisi segera ditelikungnya ke belakang, sedang tangan kanan sang polisi yang memegang pistol dibidikkan ke arah rekan - rekannya. Seketika terjadilah tembak - menembak singkat yang brutal.

        Detektif Morgan dan anak buahnya bergidik ngeri. Belum pernah mereka melihat baku tembak yang begitu frontal dan bertubi - tubi seperti itu.

        Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!

        Terdengar bunyi letusan - letusan pistol disertai kilatan cahaya. Para polisi menembak Arabel tanpa ampun. Arabel sendiri berlindung di balik punggung polisi yang ditelikungnya sembari balas menembak. Banyak darah bercipratan ke udara. Para polisi segera bertumbangan ke tanah. Arabel sendiri tak selamat. Sebutir peluru mengoyak luka lama yang didapatnya saat insiden Baker Street. Namun tameng manusia yang digunakan Arabel yang paling buruk keadaannya. Terjepit di tengah pertempuran, sejumlah peluru mengenai polisi malang tersebut. 

        Sungguh pemandangan yang mengerikan.

        Ketika detektif Morgan sudah mampu menguasai diri, dilihatnya Arabel dengan sempoyongan meninggalkan enam polisi yang terkapar di sekitarnya. Saat itulah topi Fedora yang dikenakan gadis itu jatuh. Rambut pirangnya pun lepas tergerai. Arabel yang saat itu kebetulan menoleh, bertatapan dengan detektif Morgan.

        Morgan serta para polisi di belakangnya terperanjat. Orang berjubah hitam itu ternyata perempuan!

        Arabel mengangkat kedua tangannya yang kini memegang pistol rampasan. Sambil melesat menyamping, gadis Jerman itu melepaskan tembakan gencar.

        Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!  

        Para polisi sontak kocar - kacir. Mereka berlarian menyelamatkan diri dari tembakan Arabel. Berlindung di balik sepeda motor atau mobil yang terparkir.

        Sebuah motor Harley-Davidson segera meledak dan terlempar ke udara akibat tertembak. Kaca - kaca mobil pecah berhamburan. Badan mobil dan sepeda motor berlubang - lubang. Para polisi meringkuk tak mampu memberi perlawanan.

        Entah berapa lama hujan peluru itu berlangsung. Tiba - tiba suasana menjadi sunyi. Saat detektif Morgan menegakkan tubuh, dilihatnya Arabel sudah masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Para polisi lain ikut menyaksikan hal itu.

        "Kalian berdua dobrak pintu itu dan masuk ke dalam," detektif Morgan menunjuk dua orang polisi, "sisanya mengikuti dari belakang untuk memberi back up," ujarnya.

        Detektif Morgan menatap enam anak buahnya yang sedang digotong ke tempat aman. Mereka merintih - rintih kesakitan. Secara ajaib, tak ada yang dalam kondisi kritis. Padahal tembak - menembak tadi begitu brutal. Enam pria berpistol telah ditumbangkan seorang gadis sendirian. Keberanian gadis itu sungguh tak masuk akal.

        "What the heck ... ayo kita ringkus nona brengsek itu!" detektif Morgan berkata pada anak buahnya. Ia menyeringai dengan penuh semangat.

        Waktu muda dirinya adalah berandalan. Menghadapi situasi menegangkan ini justru membuat dirinya tertantang.

***

        Dua polisi terdepan berjalan mengendap - endap.

        Lantai bawah sudah diperiksa dan ternyata kosong. Sekarang kedua polisi itu menaiki tangga menuju lantai atas.

        "Tidak di rumah, tidak disini selalu saja kujumpai perempuan mengamuk," polisi pertama berkata dengan prihatin. Pistolnya digenggam erat sambil terus mengendap naik.

        "Sssh ... jangan berisik. Nanti gadis iblis itu mendengar ... ", polisi kedua memperingatkan.

        Tak lama hampir sampailah mereka di ujung anak tangga. Di atas sana entah bahaya apa yang sedang menunggu.

        "Naiklah lebih dulu ...," bisik polisi pertama pada polisi kedua, "yang muda sepertiku harus mendahulukan yang tua."

        "Terima kasih tapi aku sudah terbiasa antri. Silakan saja kalau ingin mati duluan ...," sahut polisi kedua dengan kesal.

        Mendengar ribut - ribut itu, detektif Morgan menjadi kesal. Kedua polisi yang asik ngobrol itu langsung dipelototi olehnya. Mereka pun langsung terdiam. Morgan tak paham apa yang mereka bicarakan namun macet bergerak membuatnya sebal.

        Morgan mengacungkan tinjunya, memaksa kedua polisi itu maju terus.

        Kedua polisi itu pun menurut.

        Ketegangan kini semakin memuncak.

Bersambung

(Kisah ini ditayangkan tiap senin - rabu)

Rasanya senang memasukkan sedikit unsur humor disini. Namun tak boleh banyak - banyak karena ceritanya sedang serius. Lumlum berjanji, cerbung ini minggu depan akan tamat. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun