Mohon tunggu...
Lukman Yunus
Lukman Yunus Mohon Tunggu... Guru - Tinggal di pedesaan

Minat Kajian: Isu lingkungan, politik, agama dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Banalitas Demokrasi, Politik Dinasti, dan Kaderisasi Partai Politik

15 Juli 2020   13:18 Diperbarui: 15 Juli 2020   13:19 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kampanye politik | Foto detikNews

Konflik Kepentingan

Dalam kasus keluarga Presiden Joko Widodo di atas, sangat menonjol ambisi politik sang Presiden. Dua anggota keluarganya sekaligus diupayakan maju dalam kontestasi Pilkada mendatang. Hal ini menunjukkan bahwa Presiden seolah ingin tradisi menduduki kekuasaan pemerintahan dalam keluarganya tidak boleh terputus. Kendati bagaimanapun caranya. Akan tetapi dampak yang terlihat sekarang ialah penolakan dari kader PDIP di akar rumput tingkat daerah dan kecamatan. Ini contoh konflik kepentingan.

Kompetensi dan Rekam Jejak

Rekrutmen calon pemimpin khususnya eksekutif baik itu Pilpres maupun Pilkada tidak boleh mengabaikan kompetensi dan rekam jejak pasangan calon. Harus ada indikator kuat yang menjadi syarat pertimbangan keputusan. Salah satunya adalah hal di atas. Sehingga andaikata pasangan calon yang diusung berhasil menang dalam pemilu, tidak ada kekhawatiran soal kemampuannya mengurus pemerintahan. Atau dalam istilah orang-orang "Planga-plongo". Istilah ini disematkan pada orang yang menduduki kekuasaan tapi tidak tahu menahkodai pemerintahan yang dikuasainya menuju apa yang dicita-citakan bersama. Sehingga lahirlah kebijakan yang justru kontraproduktif dan menimbulkan kontroversi. Maka dalam konteks politik dinasti yang dibangun oleh Presiden Joko Widodo sangat penting mengukur kompetensi dan rekam jejak nama-nama yang disebutkan di atas.

Kaderisasi Partai Politik

Negara Indonesia termasuk salah satu negara yang menganut sistem multi partai politik. Hal ini dapat kita lihat jumlah partai dan fenomena kemunculan partai politik baru di Indonesia. Sebut saja partai yang sudah dikenal masyarakat luas adalah PDIP, Demokrat, Golkar, PKS, Gerindra, dll. Sedangkan fenomena kemunculan partai yang baru lahir seperti Partai Gelora. 

Pendirian partai jangan diartikan sebagai alat untuk mencapai kekuasaan. Jika itu yang tertanam, maka yang terjadi adalah banalitas demokrasi. Partai hanya menjadi alat mencapai kekuasaan dan saat menjabat berpegang pada prinsip "mau-mau gue". Akhirnya ritus demokrasi pemilihan umum dimaknai sebagai pergantian pemimpin semata nihil substansi. Yang mana hakikat demokrasi adalah sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jangan dipelesetkan cita-cita demokrasi tersebut.

Menyikapi hal itu, dalam partai ada beberapa tugas partai. Selain sosialisasi juga ada namanya rekrutmen partai. Proses rekrutmen kader dalam partai harus diejawantahkan melalui proses kaderisasi yang berkualitas. Kader partai diberikan pengetahuan politik (Pendidikan Politik) dan sebagainya. Sehingga tiba momentum kontestasi baik itu legislatif maupun eksekutif partai mengusung kader-kader yang sudah matang menurut standar partai umumnya. Ini kriteria utama dan mutlak harus dipegang teguh oleh setiap partai politik.

Membaca realitas rekrutmen politik hari ini dalam hal pemilu legislatif maupun eksekutif, tidak sedikit partai politik mengusung seseorang yang bukan kader partai. Sebagai contoh dalam pemilu legislatif DPR RI, ada fenomena baru dalam politik di mana artis bisa lolos ke parlemen melalui jalur partai tertentu. Jumlahnya memang sedikit, tapi fenomena ini harus dilihat serius melalui kajian politik. 

Di satu sisi ini menandakan partai politik tidak optimal melakukan fungsinya dalam proses kaderisasi. Kemunculan artis yang mendadak jadi anggota legislatif tanpa proses yang matang dalam partai adalah satu gejala dan masalah serius bagi masa depan demokrasi. Dimana fungsi kaderisasi partai politik? 

Kemudian pada sisi yang lain, fenomena ini menunjukkan sikap partai yang kontradiktif. Artis sebagai sekelompok orang yang populer di mata publik dijadikan sebagai aset untuk melanggengkan misi menduduki kekuasaan. Sekaligus mengindikasikan partai abai terhadap kompetensi seseorang yang diusungnya dengan hanya mengandalkan popularitas artis. Benar-benar praktik banalisasi demokrasi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun