Mohon tunggu...
Lukman Yunus
Lukman Yunus Mohon Tunggu... Guru - Tinggal di pedesaan

Minat Kajian: Isu lingkungan, politik, agama dan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Banalitas Demokrasi, Politik Dinasti, dan Kaderisasi Partai Politik

15 Juli 2020   13:18 Diperbarui: 15 Juli 2020   13:19 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kampanye politik | Foto detikNews

"Demokrasi tidak sebatas ritus politik pemilihan umum melainkan pengejawantahan kebijakan yang lahir dari pemimpin dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat."

Banalitas Demokrasi

Istilah banalitas dalam demokrasi menggambarkan sosio - demokrasi yang paradoks dengan cita-cita negara demokrasi. Demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Pengertian demokrasi ini dalam konteks negara kita masih jauh dari yang diharapkan. Tidak sedikit keputusan pemerintah dalam kebijakan yang diambilnya merugikan masyarakat. Salah satu contoh kenaikan iuran BPJS yang dinilai memberatkan masyarakat ekonomi kelas bawah. Apakah ini substansi dari negara demokrasi? 

Desain negara demokrasi menurut hemat penulis adalah menghendaki tatanan kehidupan masyarakat sejahtera, adil dan makmur. Segala kebijakan pemerintah harus mengarah pada poin-poin tersebut. Apa yang menjadi persoalan di masyarakat harus dilihat dan dikaji guna memperbaiki keadaan yang ada. Isu ekonomi, pendidikan, budaya, agama dan aspek lainnya adalah satu kesatuan yang menjadi ruang lingkup tanggung jawab pemerintah. Bukankah dalam kampanye politik isu-isu ini sering digaungkan oleh para calon? Lantas sudahkah pemimpin kita sepenuhnya merealisasikan janjinya ketika sudah menduduki lembaga pemerintahan?

Dalam tingkatan pemilu level Pilpres, Pilkada hingga pemerintahan desa, pada fase kampanye politik acap kali berbicara visi dan misi yang jika didengarkan seolah hadir untuk memecahkan persoalan dalam masyarakat. Terlebih aspek ekonomi masyarakat, seperti membangkitkan ekonomi kerakyatan dengan memerhatikan kehidupan para petani agar sejahtera. Namun faktanya justru terbalik, impor beras maupun garam dari luar negeri pada saat masyarakat panen raya menjadi salah satu contoh kebijakan pemerintah yang mematikan ekonomi masyarakat petani dan penambak garam.

Pada tataran pemerintahan level tertinggi di Indonesia, keputusan yang diambilnya tidak sedikit menuai kritik. Kritik dalam konteks kebijakan pemerintah adalah sinyalemen bahwa ada yang keliru dalam kebijakan pemerintah. Makanya harus diberikan ruang seluas-luasnya sehingga ada check and balance. Pemerintah tidak boleh alergi terhadap kritik apalagi sampai menggunakan kekuasaan membuat aturan yang berindikasi mematikan kritik di ruang publik. Dengan menggunakan kekuasaannya akhirnya sebagai alat melegitimasi atas pertimbangan perasaan pribadinya. 

Masyarakat punya hak untuk menginterupsi pemerintah dan pemerintah tugasnya menampung aspirasi lalu mengeksekusi dalam kebijakan yang berorientasi pada kemaslahatan umum. Namun yang terjadi sekarang ini ada penggerusan kebebasan kritik. Seseorang yang kritik pemerintah malah dinilai salah dan berakibat terkena pasal hukum. Menurut penulis undang-undang pencemaran nama baik dan ujaran kebencian harus dikaji ulang, ada potensi penyalahgunaan undang-undang dalam pasal tersebut. Siapa yang rugi? Masyarakat sendiri yang dirugikan, tujuan kritik untuk perbaikan kehidupan bangsa ujung-ujungnya berurusan dengan hukum. Inilah banalitas demokrasi yang harus dihindarkan oleh pemimpin negara kita.

Politik Dinasti

Praktik politik dinasti bukan sesuatu hal yang baru di Indonesia. Dalam pemerintahan era Soeharto yang menjabat sebagai presiden terlama Indonesia pernah menghidupkan politik dinasti dalam tubuh kekuasaannya. Pada eranya diketahui Ia pernah mengangkat putri sulungnya menjadi Menteri Sosial. Ini adalah salah satu contoh nepotisme memasukkan anggota keluarga dalam lingkaran kekuasaan. Lalu apakah hal tersebut melanggar konstitusi? Secara hukum hal itu tidak salah namun mengancam suburnya tindakan KKN. 

Sekarang ini kembali mencuat isu politik dinasti yang bersarang di keluarga Presiden Joko Widodo. Presiden RI yang berkuasa dari tahun 2014 ini diketahui anak dan mantunya akan turut andil dalam perhelatan pilkada tahun ini. Masing-masing dari keduanya, putranya Gibran Rakabuming maju sebagai calon Walikota Solo sedangkan mantunya Bobbhy Nasution sebagai calon Walikota Medan. Rencananya akan maju melalui partai politik yang dinahkodai oleh Megawati Soekarnoputri, PDIP. 

Respon beragam datang dari pengurus partai PDIP di daerah terkait. Mereka menyampaikan sikap menolak dan merekomendasikan nama lain yang notabenenya kader partai. Disini terjadi konflik kepentingan. Upaya Presiden Joko Widodo memasukkan anggota keluarganya dalam lingkaran kekuasaan tidak mudah. Meski begitu, menurut hemat penulis masih berpeluang mewujudkan hal tersebut dengan melakukan komunikasi langsung ke petinggi partai. Presiden Joko Widodo sangat mungkin melakukan hal itu, koneksinya jelas.

Menurut hemat penulis, politik dinasti ini adalah praktek yang berbahaya. Setidaknya dua hal argumentasi yang menguatkan pendapat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun