Mohon tunggu...
Luisa Devika
Luisa Devika Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - -

-

Selanjutnya

Tutup

Hobby

Analisis Novel Atheis dengan Pendekatan Objektif

28 Februari 2022   21:15 Diperbarui: 28 Februari 2022   21:17 11376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

    Hasan merupakan tokoh utama dalam novel tersebut. Sejak kecil ia sudah dididik dalam agama oleh kedua orangtuanya. Berkat didikan orang tuanya sejak kecil, ia adalah orang yang sopan dan rajin beribadah. Perilaku Hasan sendiri dapat dikatakan bahwa ia merupakan tokoh yang terus berkembang seiring jalannya cerita. Saat masih kecil, terlihat jelas bahwa ia sangat percaya pada agamanya yaitu Islam. Semua ibadah ia ikuti sesuai dengan ajarannya. Tetapi seiring-nya waktu, karena bertemu dengan teman-teman baru di lingkungan dan kebudayaan yang baru, kepercayaan tersebut mulai hilang dan ia menjadi seorang atheis. Setelah menikah, Hasan menjadi orang yang mudah marah, menjadi lebih emosional, terutama terhadap Kartini.  Ia semakin sering menggunakan kata kasar dan menggunakan menggunakan fisik kepada Kartini dan pembantunya. Walaupun begitu, ia tetap peduli dengan Kartini dan merasa ia harus menyalahkan dirinya sendiri akibat Kartini selalu pergi dari rumah. Bukti kalimat :

  • Sopan:

  • "Saya permisi pulang saja" kataku, karena merasa barangkali mengganggu mereka (mereka disini adalah Rusli dan Kartini). (Mihardja, 1949, hal.39)

  • Rajin beribadah:

  • Selesai sembahyang, aku tidak lantas ke luar, melainkan terus duduk bersila di atas lapik. Kuambil tasbih yang terletak di sampingku. Lantas berdzikirlah aku. (Mihardja, 1949, hal.44)

  • Berhenti aku dengan berzikir, lantas bertawadhu. (Mihardja, 1949, hal.44)

  • Esok harinya sehabis sembahyang Asar, aku sudah mendayung lagi ke Kebon Manggu (Mihardja, 1949, hal.54)

  • Emosional:

  • Dan entahlah, tak tahan lagi aku, kalau aku mendengar "ringkikan kuda" seperti itu. Sampai-sampai suka lupa. Kutempeleng Kartini sehingga menjerit. (Mihardja, 1949, hal. 180-181)

  • "Mimi! Mimi! Lu goblok! Tuli! Tidak dengar?!" (Mihardja, 1949, hal. 184)

  • "Salahku juga!" Bergemalah lagi seolah-olah suara hatiku itu. "Mengapa aku sekarang begitu mudah naik darah?" (Mihardja, 1949, hal. 187)

  1. HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    3. 3
    4. 4
    5. 5
    6. 6
    7. 7
    8. 8
    9. 9
    10. 10
    11. 11
    12. 12
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Hobby Selengkapnya
    Lihat Hobby Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun