Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 2025 lebih dari sekadar perayaan sejarah. Ia adalah momen refleksi strategis bagi Indonesia untuk mendefinisikan kembali perannya dalam tatanan internasional yang semakin kompleks dan tidak pasti.
Sejak 1955, KAA telah menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme dan imperialisme. Presiden Soekarno dengan visioner membayangkan dunia di luar bingkai kekuatan Barat, menciptakan ruang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan.Â
Kini, 70 tahun kemudian, pertanyaannya adalah: Dapatkah Indonesia menghidupkan kembali semangat tersebut dalam konteks geopolitik kontemporer?
Tantangan pertama adalah fragmentasi Global South. Negara-negara Asia dan Afrika tidak lagi memiliki solidaritas sebulat tahun 1955. Masing-masing negara lebih sibuk dengan kepentingan nasionalnya sendiri, kehilangan momen strategis untuk membentuk blok alternatif yang kuat.
Indonesia tentu saja memiliki modal historis unik. Indonesia tidak sekadar peserta, melainkan arsitek utama KAA. Namun, potensi ini belum sepenuhnya dimanfaatkan. Keputusan pemerintah untuk tidak menyelenggarakan peringatan resmi 70 tahun KAA adalah sinyal menurunnya ambisi diplomatik.
Konteks geopolitik 2025 membutuhkan strategi baru. Perang dagang antara Amerika Serikat dan China, krisis iklim, ketimpangan ekonomi global, dan konflik berkepanjangan di Timur Tengah menciptakan lanskap internasional yang tidak menentu. Indonesia tidak bisa sekadar menjadi penonton.
Adaptasi
Strategi adaptasi KAA setidaknya membutuhkan empat pilar transformasi:
Pertama, reaktualisasi prinsip Bandung. Semangat anti-imperialisme harus diterjemahkan ulang dalam konteks ekonomi digital dan perang dagang kontemporer. Indonesia perlu menjadi penggerak inisiatif pembentukan mekanisme kerja sama ekonomi alternatif bagi negara-negara berkembang.
Kedua, diplomasi lingkungan. Krisis iklim tidak mengenal batas negara. Indonesia dapat mengambil inisiatif membentuk platform kerja sama praktis antarnegara Global South untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Pengalaman Indonesia dalam pengelolaan hutan dan keragaman hayati bisa menjadi modal penting.
Ketiga, diplomasi teknologi. Dengan transformasi digital yang masif, Indonesia berpotensi menjadi jembatan kerja sama teknologi antara negara-negara berkembang. Inisiatif pertukaran talenta, transfer pengetahuan, dan pengembangan ekosistem inovasi lintas negara dapat menjadi fokus strategis.
Keempat, diplomasi kebudayaan. KAA tidak sekadar tentang politik dan ekonomi, melainkan juga pertukaran narasi dan perspektif. Indonesia dapat mengembangkan forum kebudayaan yang melibatkan seniman, intelektual, dan pemuda dari berbagai negara Asia-Afrika.
Meski begitu, strategi ini membutuhkan political will yang kuat. Inisiatif pembukaan ruang partisipasi lebih luas sangat diperlukan bagi masyarakat sipil, seniman, dan komunitas akar rumput.
Dino Patti Djalal mengingatkan pentingnya mempertahankan "brand" Bandung. Ia bukan sekadar brand diplomatik, melainkan modal soft power yang dapat menguatkan posisi Indonesia dalam percaturan global.