Ironisnya, sistem kapitalis global telah menciptakan siklus ekonomi yang tidak terduga. Siapa bisa menyangka bahwa negara yang hendak menjatuhkan sanksi ekonomi justru menjadi bagian dari sistem produksi yang ingin mereka hancurkan.Â
AS yang gencar melakukan tekanan ekonomi terhadap China, pada saat yang sama tetap memanfaatkan murahnya tenaga kerja di China untuk memproduksi kaus itu dan 'rela' menjadi pasar utama bagi produk-produk buatan China itu.
Kisah kaus "Boycott China" ini membuka pertanyaan yang agak filosofis: Apakah globalisasi telah mengubur konsep kedaulatan ekonomi? Apakah batas-batas nasional hanyalah ilusi belaka dalam tatanan ekonomi modern?Â
Ketika sebuah pabrik di China dengan entengnya memproduksi barang yang secara simbolik menentang dirinya, maka jawabannya hampir pasti ya.
Pelajaran berharga
Bagi Indonesia, fenomena ini adalah pelajaran berharga. Kita tidak bisa lagi berpikir dalam kerangka ekonomi tertutup atau nasionalistik sempit.Â
Globalisasi telah menciptakan ekosistem ekonomi yang kompleks. Keberhasilan bergantung pada kemampuan adaptasi dan interdependensi.
Tidak ada lagi dikotomi hitam-putih antara "kita" dan "mereka". Yang ada hanya jaringan kepentingan ekonomi yang rumit.Â
Dalam situasi itu, sebuah kaus boikot pun dapat menjadi komoditas menguntungkan. Paradoks inilah yang membuat globalisasi begitu menarik sekaligus membingungkan.
Pesan sesungguhnya dari kaus "Boycott China" itu adalah tentang fleksibilitas kapitalisme global. Ia tidak peduli pada retorika, ideologi, atau batas-batas politis.Â
Yang ia pahami hanyalah peluang, permintaan, dan keuntungan. Ke depan, negara-negara perlu memikirkan ulang pendekatan ekonomi mereka.Â