"Pembangunan kilang minyak. Harganya bisa dua kali lipat dari yang seharusnya. Selisihnya? Masuk ke kantong para pemain." Profesor tersenyum getir. "Dan ini bukan rahasia. Semua tahu, tapi tidak ada yang bisa berbuat apa-apa."
Di tengah denting sendok kopi dan aroma pastry dari dapur hotel, profesor membuka file berisi transkrip wawancara dengan mantan pegawai Pertamina.Â
"Mereka punya istilah sendiri: 'commitment fee'," jelasnya. "Setiap kontrak ada 'commitment fee'-nya. Bisa 10%, bisa 20%, tergantung 'kesepakatan'."
"Bagaimana bisa berlangsung begitu lama?" tanya mas Gondhez.
"Karena sistemnya dirancang untuk itu," jawab profesor. "Pertamina punya privilege khusus.Â
Mereka tidak perlu melaporkan keuangannya secara detail ke pemerintah. Bahkan presiden pun tidak punya akses penuh ke pembukuan mereka."
Lalu, sang Professor membuka dokumen lain. Kali ini soql berbagai anak perusahaan Pertamina di luar negeri.Â
"Ini cara klasik mengaburkan jejak uang," jelasnya. "Dana mengalir dari satu perusahaan ke perusahaan lain, hingga tidak bisa dilacak lagi ujungnya."
"Dan semuanya legal?"Â
"Legal secara prosedur, tapi tidak secara substansi. Mereka ahli membuat semuanya tampak benar di atas kertas."
Ketika malam turun di Auckland, diskusi mereka beralih ke dampak jangka panjang praktik tersebut. "Yang paling menyedihkan," kata profesor, "adalah bagaimana hal ini menciptakan budaya korupsi yang mengakar. Generasi-generasi berikutnya menganggap ini normal."