Mohon tunggu...
Ludiro Madu
Ludiro Madu Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Mengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN 'Veteran' Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Indonesia-China: Optimisme Kerja Sama, Kecuali di Laut China Selatan

17 Januari 2021   05:05 Diperbarui: 17 Januari 2021   05:44 591
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kunjungan Menteri Luar Negeri (Menlu) China Wang Yi ke Indonesia menegaskan arti penting hubungan kedua negara. Penanganan pandemi hingga kerjasama pengembangan vaksin Covid-19 telah menguatkan hubungan bilateral yang telah berlangsung 70 tahun. Namun demikian, optimisme kerjasama di antara kedua negara tampaknya masih jauh panggang dari api di Laut China Selatan (LCS).

Optimisme
Hubungan kedua negara tidak hanya berlangsung secara virtual melalui video conference atau hanya sebatas pertemuan di berbagai forum. Lebih jauh, hubungan bilateral itu sudah memberi hasil kongkrit.

Sebelum kedatangan Menlu China, vaksin Covid-19 dari Sinovac telah tiba di Indonesia dalam 3 kali pengiriman. Terakhir, ada 15 juta vaksin telah diterima Bio Farma Indonesia. Kedatangan vaksin itu melancarkan pelaksanaan kebijakan vaksin gratis Indonesia. 

Bahkan pemerintah Indonesia telah bergerak cepat mendistribusikan vaksin itu ke berbagai daerah. Program vaksinasi nasional dapat dilaksanakan sesuai rencana dengan Presiden Jokowi sebagai penerima pertama vaksin gratis.

Satu hal strategis lain yang sering luput dari perhatian adalah kerjasama antara Bio Farma dan Sinovac. Terkesan biasa, namun sebenarnya kerjasama di antara kedua lembaga farmasi memperlihatkan hasil kongkrit dari diplomasi kesehatan kedua negara. 

Apalagi peningkatan kemampuan Bio Farma terkait dengan rencana Indonesia membangun ketahanan kesehatan nasional, antara lain melalui kemandirian industri obat, bahan baku obat, dan alat kesehatan. 

Optimisme lain bagi Indonesia adalah kesediaan China membantu membangun pusat produksi vaksin regional di Asia (Tenggara).

Kerjasama ini yang belum tentu dapat diperoleh Indonesia dari produsen vaksin di negara lain. Ini mengingatkan kita pada cepatnya kesepakatan antara Indonesia dan China dalam pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung. Kecepatan yang terukur dalam kerjasama bilateral (di tingkat antar-pemerintah dan antar-lembaga/BUMN) untuk menghadapi pandemi ini menjadi salah satu pertimbangan penting bagi Indonesia lebih memilih bekerjasama dengan China.

Pesimisme
Pesimisme kerjasama kedua negara terletak di persoalan LCS. Dalam pernyataan pers bersama Menlu China Wang Yi yang ditayangkan virtual usai melakukan pertemuan bilateral di Kemlu RI, Jakarta, pada Rabu (Kompas.com, 13/1/2021), Menlu Retno menegaskan, "Pentingnya menjaga Laut China Selatan sebagai laut yang damai dan stabil. Dan untuk mencapainya, satu hal yang harus dilakukan semua negara yaitu menghormati hukum internasional termasuk UNCLOS 1982."

Indonesia selalu meminta komitmen kerja sama China dengan negara-negara ASEAN lainnya untuk secara penuh dan efektif melaksanakan Deklarasi Perilaku Para Pihak (Declaration of the Conduct of Parties/DOC) di Laut China Selatan. 

Kedua negara perlu secara aktif dan teguh memajukan perundingan Kode Etik (Code of Conduct/COC) di Laut China Selatan. Tak hanya itu, kedua negara juga harus membuat peraturan regional yang efektif dan substantif agar dapat bersama-sama menjaga perdamaian dan stabilitas di LCS.

Meski Indonesia tak bersengketa dalam konflik LCS, Indonesia selalu mengingatkan China mengenai arti penting CoC itu dan meminta China membahasnya di meja perundingan regional ASEAN.

Indonesia melihat sikap agresif China di perairan LCS sebagai pertanyaan apakah kebangkitan China akan berlangsung secara damai atau tidak. China selalu menawarkan berbagai macam kerjasama ekonomi kepada Indonesia dan berbagai negara anggota ASEAN. Namun demikian, sikap China yang ekspansionis dan konfliktual di LCS tetap membuat negara-negara di Asia Tenggara selalu waspada.

Kenyataan ini cenderung menghasilkan pandangan dilematis terhadap kehadiran China di kawasan Asia. 

Tantangan
Meski kerja sama ekonomi berkembang signifikan, kedekatan Indonesia-China cenderung menciptakan kerumitan bagi pemerintah Indonesia. Bahkan hubungan itu tak jarang menjadi bumerang bagi pemerintahan Jokowi karena sentimen politik domestik yang cenderung negatif terhadap China.

Banyak pihak di Indonesia khawatir bahwa kerjasama ekonomi itu hanya akan dimanfaatkan China untuk meningkatkan ekspornya ke Indonesia. Akibatnya, pasar domestik Indonesia dikhawatirkan akan lebih banyak dibanjiri produk-produk China ketimbang sebaliknya.

Pernyataan Menlu Retno itu sebenarnya menunjukkan hubungan bilateral itu dilematis bagi Indonesia, khususnya pemerintahan Jokowi. Bagi Indonesia, agresivitas China di Laut China Selatan itu dianggap menjadi salah satu penyebab Jokowi enggan terkesan terlalu dekat dengan pemerintahan Presiden Xi Jinping. Konsistensi sikap agresif China di LCS selama ini dan posisi Indonesia sebagai non-claimant state di LCS  menyebabkan isu LCS menjadi tantangan tersendiri bagi kerjasama kedua negara.

Berbagai tantangan nyata itu tampaknya tidak mengganggu peningkatan kerjasama kedua negara dalam penanganan pandemi Covid-19 hingga kini. 

Persoalan bilateral di satu sektor tidak serta merta menghentikan hubungan bilateral secara keseluruhan, termasuk antara Indonesia dan China yang baru saja memperingati 70 tahun hubungan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun