Mohon tunggu...
Donal Eryxon
Donal Eryxon Mohon Tunggu... Lainnya - Mencoba menulis

Biasa dan monoton.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pulang

29 Oktober 2020   06:29 Diperbarui: 29 Oktober 2020   06:35 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar hanyalah kiasan

"Jadi bagaimana?"


"Iya, aku akan ke kota" kata Alan


"yakinkan lah, bapak sudah tidak ada, masa tega meninggalkanku sendiri untuk merawat Ladang itu? Warisan tanah ini hanya buat kita berdua" Kata Mada.

"yang benar saja, kita sudah terlalu lama disini kapan lagi kita akan melihat kenyataan. Siapa tahu kita sebenarnya adalah anak pengusaha yang kaya raya, aku percaya kita lebih baik dari yang sekarang ini. Lebih baik kau ikut denganku, kita sewakan tanah ini atau jual saja sekalian. Berdua kita akan lebih baik. Lagipula kita hanya anak angkat, tidak hanya bapak yang membesarkan kita, seluruh orang di kampung ini menyayangi kita, kita bukan hanya anak bapak, kita anak dari kampung ini kalau kita sudah tahu kebenaran kita kan beritakan kabar baiknya." Alan mencoba meyakinkan.

"Aku tetap disini, justru karena aku menggangap dia bapak kandungku dan mengganggap kampung ini rahim dari lahirnya jiwaku, jangan tergiur kau dengan mewahnya kota, jika semua orang tergiur dengan kerja di bangunan megah kantoran siapa lagi yang menjadi petani, percayalah menjadi petani adalah pekerjaan megah, menciptakan setumpuk kehidupan untuk berjuta kehidupan lain. Sekalipun kau anggap hidup kita tidak sempurna karena belum tahu keluarga asli kita siapa disana. Aku malah mengganggap kesederhanaan inilah yang paling dekat dengan kesempurnaan. Aku ingat ajaran bapak. Masa kau lupa? "

"Ah, bapak hanya mencuci otakmu supaya tidak ke kota dan terus membusuk di kampung ini. sudah. Kita beda prinsip. Tidak akan ada titik temu minggu depan aku akan ke kota itu. Tidak usah cemas, aku punya tabungan lagipula, uang duka dari masyarakat malah lebih dari cukup". Aku yakin kecelakaan mobil yang menimpa kita pasti memiliki hubungan dengan orang kota, tidak mungkin polisi sekalipun tidak tahu kita keluarga siapa dan dengan mudahnya kita diadopsi oleh bapak."

"Kau terus berusaha meyakinkanku, lan.. aku juga awalnya mencoba mengigat semua kejadian itu dan dulunya juga terus berusaha bagaimana caranya kita tahu siapa kita sebenarnya. usia satu tahun membuat ingatan kita hanya samar-samar saja. Sampai tanggal lahir kita disamakan dengan tanggal lahir bapak dan saudaranya yang tidak ada kabar itu, sudah buntu semua, aku lebih terima jika kau ke kota demi memperbaiki hidup dan rutin pulang kesini setiap ada hari raya panen. Aku mau tidur.. matangkan persiapanmu". Mada menutup pembicaraan.

"Baik aku pergi, jika kau juga mau ikut denganku tak usah bawa gengsi mu untuk mengabari aku , aku akan berikan alamatku ke Pak Kumis pemilik warung kopi dan wartel lewat telepon. Jaga dirimu saudaraku, aku menyayangimu walaupun gengsi kita yang tak mau kalah tetap tinggi." Kata Alan. 

"Pergilah, aku menyayangimu" balas Mada ketus.

                                                                                                                                     ***
"Sudah lebih enam kali Alan tidak datang ke pesta panen, apa kau masih berkabar dengannya entah lewat surat?" kata Pak Kumis saat Mada minum kopi di warung itu.

"belum pernah pak, sejak dia pergi bahkan.. malas aku bicara dengannya, buat apa dia ke ke kota, Mencari kabar keluarga? basi.. lebih baik dia jujur mau kerja kantoran kaya di televisi itu, lebih kuhargai. Seharusnya dia yang berkabar untuk kita, disini sinyal masih susah , pake handphone canggih juga suaranya masih ngadat. Paling hanya wartel aja yang diandalkan disini dan dia harusnya sadar. Kata Mada.

 "Atau kamu ke kota saja, ini aku masih simpan alamatnya waktu dia menelepon ke sini saat baru sampai di kota, tapi dia tidak tanya tentang kamu meskipun kupancing bercerita tentang kamu da, kata pemilik warung". "Udah lah Pak Kumis, udah sering bapak suruh aku dan aku tidak akan ke kota." Jawab Mada sinis. "kenapa kalian selalu seperti bermusuhan? Kakak-adik kok gitu? Padahal dulu kompak". Pak Kumis memancing pembicaraan lagi Mada menarik nafas, berbicara dia seperti meluapkan semua kekesalannya

"Dia berusaha meyakinkan kita kalau hidup di kota itu selalu lebih baik dibandingkan hidup disini, dia pernah bicara itu padaku, padahal bapak selalu bercerita kalau hidup di desa itu indah, hidup dalam kesederhanaan. Bapak sudah berikan banyak contoh, Shidarta gautama, Isa Almasih, Nabi Muhammad bahkan sampai wakil presiden kita yang pertama, ah lupa aku namanya. Mereka orang hebat dan bahagia dengan kesederhanaannya bahkan si Shidarta mlah jenuh dengan kemewahan dan mengganggap itu nsumber masalah manusia, sudah jelas kan?

 tapi Alan malah tetap lebih berharap tinggal di kota, dia beranggapan manusia-manusia terbaik pasti akan berkumpul di kota dia tegas dengan apa yang dipelajarinya di sekolah hambatan memberikan tantangan dan itu hanya ada di kota tapi dia tidak sadar kalau setiap tantangan kehidupan itu kesulitannya sama.

 "Aku paham" kata Pak Kumis, "Kita sering melekatkan diri terlalu erat dengan ide-ide kita sehingga kita merasa diserang secara pribadi jika ide-ide itu dikritik atau diluruskan. Dan memaksakan suatu ide, pikiran dan pengalaman kita kepada orang lain berujung pada merenggangnya sebuah hubungan." "iya perbedaan kami membuat kami memiliki jarak sekarang tidak sedekat dulu, apalagi dia yang tetap mempertahankan jarak itu dengan memutus komunikasi" kata Mada.

 "Nah, harusnya kamu siap mengalah untuk kakakmu, hubungi dia, dan berbaikanlah tidak perlu ada gengsi dalam persaudaraan, komunikasi adalah segalanya dalam hubungan, bahkan dengan sang maha tinggi, kamu pasti paham berapa banyak manusia yang hancur karena buruknya komunikasinya dengan Tuhan" ujar Pak Kumis berusaha menasehati. "Pak Kumis  jangan sampai  ucapanmu tadi menjadi senjata makan tuan dengan memaksakan idemu dengan prinsipku.." kata Mada dengan suara yang tegas. Dia meninggalkan warung itu, Pak Kumis hanya tersenyum. " tak mungkin dia menjaga jarak denganku karena kupaksa berbaikan dengan dia, barusan dia belum bayar dan utang minum kopinya masih banyak disini" pikir Pak Kumis.

                                                                                                                                ***

"berapa lama lagi sih kampungnya? Kita sudah delapan jam berjalan tanpa henti lo pah.." kata sang istri pada suaminya.

"Sebentar, kira-kira setengah jam lagi kita sampai ke pintu masuk kampung, nanti kita istirahat sebentar disana, lagian bekal makanan si kembar sudah habis sekalian mereka nanti makan di warung itu.." kata Alan meyakinkan Istrinya .

"kenapa dari dulu papa belum mau pulang ke kampung? Tidak harus menunggu sukses kan? Lagipula kenapa harus mendadak begini? Dan kenapa tidak memberi kabar ke kampung dulu" istrinya menjejali Alan dengan pertanyaan-pertanyaan yang kalaupun dijelskan satu per satu harus dengan jawaban yang panjang.

"Nanti aja ma aku jelasin semuanya, intinya gini selain membuktikan kalau aku bisa bahagia di kota aku juga mau membuktikan tentang kenyataan keluargaku dulu yang ada di kota. Ini akan jadi kejutan besar untuk Mada dan pelajaran buat dia kalau tidak semua yang diucapkan bapak benar adanya, bukan aku tidak saying dengan kampungku itu, aku juga mau memajukannya tapi ideology dan cita-cita juga harus diberi makan, saatnya aku menghidupi ideologiku dengan kembali ke kampung " kata Alan sumringah.

Istrinya jelas belum puas dengan jawaban Alan, kepergian mendadak ini membuatnya jengkel, dengan persiapan yang belum matang secara fisik dan mental dan semua identitas pribadi yang tertinggal di rumah karena harus berkemas dengan buru-buru ditambah kondisi fisik anak kembarnya yang masih dua tahun tapi sangat rewel jelas bukan situasi yang menyenangkan untuk pulang. Tapi apa boleh buat pikiran suaminya kadang sulit ditebak dan bahkan masih misterius sampai sekarang mengingat asal usul keluarganya yang masih kurang jelas bagi sang istri dan tertutupnya komunikasi Alan dengan saudaranya di kampung.

"Masih lama lagi pah?" sang istri kembali menanyakan "Papah udah mulai keliatan lelah lho.."

 "ini hampir sampai ma, tenang aja.." jawab suaminya...

                                                                                                         ****

 Lima tahun kemudian...

 "leon, adi" ayo cepat berkemas, malu kita nanti hari pertama masuk sekolah masa terlambat? Teriak bapak "yaaa pak" sambut kedua anak itu.

 Mulailah hari pertama ke sekolah, semua orang tua ikut mengantar anaknya, melihat bagaimana reaksi mereka saat bertemu lingkungan baru, orang-orang baru dan tantangan yang baru. Hampir semua orang tua bahagia, kecuali Mada. "Masih penasaran pak Mada?" tanya seorang wali siswa langsung kepada Mada. "Iya, aku masih penasaran siapa orang tua mereka, tidak ada kartu identitas, Mobil yang plat dan nomor mesinnya hancur lebur, orang tua yang tubuhnya tidak bisa dikenali lagi. Aku tidak tahu bagaimana cara kedua anak itu lolos dari kecelakaan maut bahkan dengan luka yang hanya memar-memar seperti mukjizat.

 Saat aku pulang dari warung kopi kulihat mobil itu sudah lama terbakar dan kedua anak itu sudah ada di luar. Penyelidikan polisi tidak membuahkan hasil setelah sebulan kecelakaan itu, tidak ada yang melapor tentang mobil dan orang." Jelas Mada dengan wajah datar.

 "Aku hanya teringat kejadian itu mirip dengan yang kualami saat masih kecil dan kuputuskan menjaga mereka sampai ada yang betul-betul mengakui kalau mereka adalah keluarga anak-anak itu" sambung Mada. Lonceng masuk berbunyi, Mada berbalik arah, meninggalkan wali murid tadi dan pergi menuju warung kopi Pak Kumis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun