MENUTUP CELAH RADIKALISME: MISI BERSAMA SELAMATKAN GENERASI
Reporter: Lucky Zamaludin Malik
BOGOR, 23 Juli 2025 - Radikalisme tidak muncul secara tiba-tiba. Ia tumbuh dalam kesunyian, menyelinap melalui celah-celah kelalaian sosial: dari keluarga yang abai, sekolah yang permisif, hingga ruang digital yang tak terkendali. Narasi tersebut disampaikan secara tegas oleh Dr. H. Najamudin, M.Pd.I, Dosen Pendidikan Agama Islam Universitas Ibn Khaldun dan Universitas UMMI Bogor, dalam tulisannya yang bertajuk "Menutup Celah Radikalisme: Tugas Kita Bersama."
"Radikalisme tidak lahir di ruang hampa. Ia tumbuh di celah-celah kosong: ketika keluarga lalai, sekolah membiarkan, masyarakat abai, dan media ikut memprovokasi," tulis Najamudin.
Pandangan ini mencerminkan keprihatinan yang mendalam akan tumbuh suburnya paham ekstrem yang menjangkiti anak muda, bahkan sejak usia sekolah. Bagi Najamudin, tak ada satu pihak pun yang dapat mengelak dari tanggung jawab. Seluruh komponen bangsa memiliki peran krusial untuk mencegah infiltrasi ideologi yang merusak.
Langkah Kolektif Cegah Ekstremisme
Dalam esainya, Najamudin menawarkan lima langkah praktis yang harus dilakukan semua elemen masyarakat untuk menutup ruang bagi radikalisme:
Sebarkan Islam secara utuh dan ramah.
Jangan hanya membahas halal-haram, tapi juga tanamkan nilai empati, kasih sayang, dan akhlak yang luhur.Perkuat pendidikan karakter, bukan sekadar hafalan.
Anak-anak perlu dilatih berpikir kritis dan bijak, bukan hanya menghafal tanpa makna.Bangun keluarga sebagai benteng utama.
Nilai-nilai dasar seperti sabar, jujur, hormat, dan tanggung jawab harus ditanamkan sejak dini di rumah.Aktifkan masjid, sekolah, dan komunitas sebagai ruang pembinaan.
Masjid bukan sekadar tempat ceramah satu arah, tapi harus menjadi ruang dialog yang membangun. Sekolah pun harus menjadi ruang aman berpikir dan bertanya.Bijak dalam bermedia sosial.
Jangan jadikan media sosial sebagai ladang caci maki. Gunakan untuk menyebar kebaikan, klarifikasi, dan inspirasi.
Ubah Narasi, Ubah Arah
Najamudin menekankan pentingnya transformasi cara pandang masyarakat terhadap keberagaman dan perbedaan. Ia mendorong masyarakat untuk mengganti narasi kecurigaan menjadi kolaborasi, dari kemarahan menjadi pengertian, dan dari kebencian menjadi cinta.
"Islam tidak butuh dibela dengan teriakan atau senjata. Islam cukup dibela dengan akhlak, ilmu, dan cahaya kasih sayang yang tak padam," tegasnya.
Baginya, membiarkan celah radikalisme tetap terbuka sama artinya dengan menyerahkan anak-anak bangsa kepada masa depan yang kelam dan penuh konflik. Oleh karena itu, perlawanan terhadap radikalisme bukan hanya tanggung jawab institusi, tapi tugas moral setiap individu.
"Radikalisme bukan soal siapa yang salah. Tapi soal siapa yang diam terlalu lama," tutupnya.
Sumber: Dr. H. Najamudin, M.Pd.I
Editor's Note:
Tulisan ini adalah panggilan nurani, bahwa mencegah radikalisme bukan hanya tugas negara atau tokoh agama. Ia adalah misi kebangsaan dan kemanusiaan --- dan kita semua bagian di dalamnya
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI