Mohon tunggu...
Tri Lokon
Tri Lokon Mohon Tunggu... Human Resources - Karyawan Swasta

Suka fotografi, traveling, sastra, kuliner, dan menulis wisata di samping giat di yayasan pendidikan

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pasir Timbul Pulau Nain, Pesona Bahari di Sulut

18 Oktober 2015   20:04 Diperbarui: 22 Oktober 2015   17:32 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya dan teman-teman berjumlah 13 orang tiba di pelabuhan pukul 8 pagi. Sudah banyak orang berkumpul di pelabuhan Marina. Mereka menunggu giliran untuk dipanggil masuk ke kapal yang sudah berlabuh di dekat dermaga. Dari informasi petugas lewat pengeras suara, ternyata mereka ada yang ke Bunaken dan ada yang ngetrip ke Pasir Timbul.

David, lelaki setengah baya dengan baju hijau dan penutup kain di kepalanya, tampak sibuk melayani rombongan-rombongan yang menggunakan jasanya untuk wisata ke bungin Pasir Timbul. Saya lihat David menyiapkan 3 kapal longboat dengan mesin berkapasitas 2 tempel mesin berdaya masing-masing 100 PK. Setiap kapal bisa mengangkut 40 penumpang.

[caption caption="Transfer perahu kecil untuk menuju ke Pasir Timbul (dokpri)"]

[/caption]

 

[caption caption="Berjalan di atas terumbu karang dan pasir putih, bergandengan (dokpri)"]

[/caption]

Jarum jam sudah menunjuk angka 9, semua rombongan yang dipandu David diminta masuk ke kapal. Saya dan teman-teman mendapat Kapal berwarna biru putih. Saya hitung ada 35 orang dalam kapal itu. Berarti ada dua rombongan dalam satu kapal ini.

"Kalau nanti ada yang mabuk saya bawa obatnya" kata David meyakinkan saya dan teman-teman. Bayangkan saja, dua jam di atas laut. Bisa bosan dan bisa pusing digoyang oleh ombak. Untungnya, ombak tidak terlalu besar saat itu. Bosan duduk di kapal kami pindah di dek depan untuk berselfi ria. Itu pun tidak terlalu lama karena David membagikan kepada semua peserta nasi kuning yang dibungkus pakai daun Woka.

[caption caption="Nasi Kuning Bungkus daun Woka"]

[/caption]

Rasa lapar di pagi hari itu terselamatkan oleh sebungkus nasi kuning plus telur rebus dan rica rowa. Asyik menyantap "smokol" (sarapan) itu di atas kapal yang bergoyang dan musik dari deru mesin kapal. Selesai smokol, sebagian besar penumpang tampak mulai menutup mata alias tidur. Mungkin juga karena pengaruh lamanya di atas kapal sehingga lebih baik tidur saja.

Senyap terasa di kapal. Hanya deru mesin kapal yang mengalun bak musik rock membelah laut buru. Di atas, Mentari tetap terik pada langit biru. Di saat itu, tiba-tiba David berujar, "Tak lama lagi kita tiba di Pasir Timbul" sambil melangkah ke dek depan perahu. Saya pun terdorong untuk ikut berdiri dan memandang ke arah depan kapal. Ternyata sudah ada perahu lain yang berlabuh. Tampak juga orang berkerumun di atas pasir timbul yang terbagi dalam tiga area.

Jangkar dibuang. Kapal berhenti. Kami diminta untuk pindah ke perahu kecil yang berkapasitas maksimal enam orang. Agar tidak oleng kami dilarang berdiri dan banyak gerak. Untuk sampai bungin pasir timbul, memang begitu caranya. Ditransfer ke perahu kecil. Setelah itu kami jalan kaki di antara terumbu karang dan pasir putih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun