Masalah ini tidak bisa semata-mata dibebankan pada guru. Ketika seorang siswa bisa dengan santai merokok di depan gurunya tanpa rasa bersalah, itu bukan hanya soal kontrol kelas, tapi cerminan ekosistem sosial yang lebih luas.
Rasa hormat terhadap guru tidak lahir begitu saja. Ia dibangun oleh lingkungan---keluarga, masyarakat, dan kebijakan negara. Banyak orang tua hari ini terlalu cepat membela anaknya tanpa mendengar sisi guru.Â
Ketika anak pulang dengan cerita bahwa ia "dimarahi" di sekolah, sebagian orang tua langsung bereaksi: "Guru tidak boleh begitu." Padahal, teguran itu bisa jadi bentuk kasih sayang.
Media sosial memperparah keadaan. Ruang publik kini begitu cepat menilai. Video berdurasi 10 detik bisa mengubah reputasi seseorang, tanpa konteks, tanpa kesempatan untuk menjelaskan. Dalam atmosfer semacam itu, guru menjadi pihak paling rentan. Mereka bisa salah di mata publik hanya karena ekspresi yang salah tangkap.
Kondisi ini menunjukkan adanya krisis pendidikan karakter. Program pendidikan karakter yang digaungkan bertahun-tahun sering kali berhenti di slogan. Sekolah sibuk dengan target kurikulum, sementara nilai-nilai dasar seperti sopan santun dan empati mulai terpinggirkan.
Sosiolog Emile Durkheim dalam karyanya Moral Education (1902) menulis bahwa pendidikan adalah proses sosialisasi moral. Artinya, sekolah bukan hanya tempat mentransfer pengetahuan, tetapi juga menanamkan rasa hormat terhadap norma sosial. Ketika sekolah kehilangan peran moral itu, maka murid tumbuh cerdas secara kognitif, tetapi kosong secara etik.
Guru Ambo di Makassar hanyalah satu wajah dari sekian banyak pendidik yang berjuang di tengah sistem yang membingungkan. Mereka harus menjadi pengajar, pengasuh, sekaligus diplomat moral---berjalan di atas garis tipis antara kasih sayang dan risiko hukum.
Mengembalikan Martabat Guru, Bukan Kekuasaan
Pertanyaannya: bagaimana kita mengembalikan kewibawaan guru tanpa menjadikannya penguasa di ruang kelas?
Kuncinya bukan pada menambah hukuman, tapi pada mengembalikan rasa saling hormat.
Pertama, pemerintah harus memberi perlindungan hukum yang jelas bagi tindakan edukatif guru. Bukan untuk membenarkan kekerasan, tetapi agar guru tidak dihantui ketakutan ketika menjalankan fungsi pembinaan.Â
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, sebenarnya sudah disebut bahwa guru memiliki hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Namun dalam praktik, perlindungan itu sering tidak terasa di lapangan.