Setelah itu, proposal resmi diajukan ke Badan Bahasa untuk ditinjau oleh tim ahli linguistik.
Jika diterima, kata tersebut akan masuk dalam daftar kata edisi daring KBBI --- bukan sekadar catatan akademik, tapi pengakuan budaya. Ini seperti memahat nama kecil ke batu besar bernama bahasa nasional.
Namun, tantangannya besar. Banyak kata lokal yang gagal masuk karena tidak memiliki cukup dokumentasi. Padahal, sebagian besar bahasa daerah masih hidup dalam bentuk lisan, bukan tulisan.Â
Di sinilah pentingnya peran komunitas lokal, guru, dan peneliti untuk merekam dan menuliskannya.
Bukan hanya palum, banyak kata lokal lain yang juga berpeluang memperkaya bahasa Indonesia. Kata ngayah dari Bali yang berarti "bekerja tulus tanpa pamrih," atau mapalus dari Minahasa yang berarti "gotong royong dalam kerja," misalnya, menyimpan nilai luhur yang layak dikenal secara nasional.
Ketika kata seperti palum nanti muncul di KBBI sebagai lawan kata "haus," itu akan menjadi simbol yang jauh lebih besar dari sekadar entri kamus. Ia adalah jembatan dari lokal ke nasional, dari lisan ke tulisan, dari masa lalu ke masa depan.
Harapan yang Mengakar
Harapan terbesar dari perjalanan kata palum ini adalah kesadaran kolektif bahwa bahasa daerah bukan peninggalan masa lalu, tetapi aset masa depan. Di tengah dunia global yang cenderung menyeragamkan, bahasa lokal adalah pembeda yang berharga.
Generasi muda perlu merasa bangga menggunakan bahasa daerahnya. Mereka tidak harus menolak modernitas, tapi bisa berdiri tegak sambil membawa akar budayanya sendiri.Â
Seorang remaja Pakpak yang bisa menjelaskan arti palum kepada temannya di Jakarta bukan sedang bernostalgia, tetapi sedang menunjukkan bahwa budaya lokalnya hidup.
Media dan komunitas digital juga bisa menjadi ruang baru bagi kata lokal. Saat sebuah unggahan TikTok menggunakan kata palum dengan penjelasan maknanya, ribuan orang bisa belajar hanya dalam satu menit. Cara-cara sederhana semacam itu bisa melahirkan dampak besar.
Harapan lain adalah agar dunia pendidikan memberi ruang bagi bahasa daerah tidak hanya di pelajaran muatan lokal, tetapi juga dalam pembelajaran lintas budaya. Dengan begitu, siswa tidak hanya tahu cara berbicara, tapi juga memahami cara berpikir masyarakat lain melalui bahasanya.