Modernisasi, urbanisasi, dan dominasi media nasional menjadi faktor besar yang mempercepat pergeseran ini. Generasi muda di kota-kota besar sering kali merasa bahasa daerah tidak "keren" atau tidak berguna dalam dunia kerja. Padahal, di balik kata-kata sederhana seperti palum, tersimpan nilai budaya dan cara berpikir yang unik.
Negara sebenarnya telah berupaya mencegah kepunahan itu melalui program Revitalisasi Bahasa Daerah (RBD) yang mulai dijalankan sejak 2022. Tahun pertama program itu berhasil menghidupkan kembali 39 bahasa di 13 provinsi. (indonesia.go.id)Â
Program ini melibatkan guru, komunitas budaya, dan pelajar agar bahasa daerah tidak hanya dipelajari, tetapi juga digunakan kembali dalam kehidupan sehari-hari.
Namun pelestarian bahasa tak bisa hanya mengandalkan kebijakan pemerintah. Bahasa hidup karena digunakan, bukan karena diarsipkan.Â
Di sinilah peran masyarakat menjadi penting. Ketika keluarga masih berbicara dalam bahasa daerah di rumah, ketika anak-anak tahu arti palum tanpa perlu mencarinya di internet, di situlah warisan bahasa bertahan.
Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi jembatan memori antargenerasi. Jika palum lenyap, kita kehilangan bukan hanya kata, melainkan seluruh pandangan hidup yang dikandungnya.
Palum dan Cermin Pluralisme Bahasa
Kata palum mengajarkan arti cukup. Dan mungkin, di tingkat bangsa, ia juga mengajarkan arti "cukup dengan keberagaman."Â
Bayangkan jika palum menjadi metafora bagi Indonesia --- bangsa yang sudah "tidak haus" untuk menyatukan bahasa, tetapi justru menikmati pluralitasnya.
Bangsa yang "haus" akan keseragaman cenderung memaksakan satu bentuk, satu dialek, satu cara bicara. Namun bangsa yang palum, yang merasa cukup dalam keberagaman, akan lebih damai dalam perbedaan.Â
Ia tidak memandang bahasa lokal sebagai ancaman terhadap bahasa nasional, tetapi sebagai sumber kekayaan bersama.
Dalam konteks ini, palum bisa menjadi simbol pluralisme bahasa Indonesia --- bahwa keindahan justru lahir dari perbedaan yang selaras.Â