Di sudut pegunungan Pakpak Bharat yang berbatasan dengan Kota Subulussalam, di antara kabut tipis dan ladang kopi, seorang petani meneguk air lalu tersenyum, "Palum," katanya pelan. Kata itu terdengar sederhana, tapi di baliknya tersimpan filosofi mendalam.Â
Palum dalam bahasa Pakpak berarti "tidak haus lagi," namun maknanya jauh lebih luas dari sekadar ketiadaan dahaga. Ia menyiratkan rasa cukup, tenteram, dan lega setelah kebutuhan terpenuhi.
Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang selalu haus --- haus pengakuan, haus harta, haus kecepatan --- kata palum datang seperti oase.Â
Ia mengingatkan bahwa cukup bukanlah kekurangan, melainkan keadaan seimbang antara keinginan dan kepuasan.Â
Kata ini menjadi perwujudan cara masyarakat Pakpak memahami hidup: sederhana tapi penuh rasa syukur.
Mungkin di sanalah letak keindahan bahasa daerah. Ia tidak hanya menyampaikan makna, tapi juga menghadirkan cara pandang dunia.Â
Ketika seseorang dari Pakpak mengucap palum, yang hadir bukan hanya bunyi, tapi warisan turun-temurun yang memaknai keseimbangan antara tubuh, rasa, dan jiwa.
Ruang Bahasa Daerah dan Tantangannya
Bahasa Indonesia memang menjadi bahasa pemersatu bangsa. Namun di balik satu bahasa itu, ada ratusan bahasa daerah yang menjadi fondasi keindonesiaan. Berdasarkan data dari Peta Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Indonesia memiliki 718 bahasa daerah yang telah teridentifikasi hingga 2024. (petabahasa.kemdikbud.go.id)Â
Jumlah itu menempatkan kita sebagai salah satu negara dengan keragaman bahasa terbesar di dunia.
Namun, di balik kebanggaan itu tersimpan ancaman nyata. Badan Bahasa mencatat bahwa sebagian bahasa daerah mulai kehilangan penuturnya. Ada bahasa yang kini hanya diucapkan oleh segelintir orang tua di pedalaman. Bila generasi muda berhenti menggunakannya, bahasa itu akan punah bersama ingatan para penuturnya. (bahasa.kemdikbud.go.id)