Indonesia begitu kaya akan bahasa daerah yang menjalin cerita dan identitas setiap suku. Salah satunya adalah suku Pakpak dari Sumatera Utara yang memiliki kosakata khas, salah satu yang unik dan penuh makna adalah kata "palum".Â
Kata ini secara budaya telah lama digunakan sebagai lawan kata dari haus. Bagi masyarakat Pakpak, "palum" bukan sekadar kata, ia adalah perwujudan pemahaman terhadap rasa dan keadaan tertentu yang lazim dalam kehidupan sehari-hari.
Bila kita sedang merasa haus, kita akan mencari air untuk minum. Dari situlah kemudian lahirlah kebutuhan unsur bahasa yang menunjukkan kebalikannya: tanda sudah tidak haus, atau rasa yang tenang setelah minum. Di sinilah peran kata palum yang telah menjadi bagian integral dari cara bicara masyarakat Pakpak.Â
Menulis tentang palum bukan sekadar memperkenalkan kata baru, tetapi merayakan identitas, budaya, dan upaya memperluas ruang kosakata bahasa Indonesia.
Sejarah dan Makna Budaya "Palum"
Kata palum berasal dari bahasa lisan masyarakat Pakpak yang selama ini diturunkan secara turun-temurun secara informal, dalam percakapan sehari-hari, terutama saat berbicara tentang kondisi setelah minum. Secara makna, palum menyiratkan keadaan 'tidak haus lagi', atau 'kenyang minum', perasaan nyaman ketika dahaga telah sirna.Â
Makna itu mengandung makna fisik sekaligus emosional: bukan hanya kebutuhan tubuh yang terpenuhi, tetapi juga ketenangan batin setelah kebutuhan dasar mendapatkan respons.
Dari perspektif sejarah, masyarakat Pakpak memiliki tradisi kaya dalam sistem kata, pantun, dan nyanyian lokal yang menyertakan kata-kata khusus dari kehidupan sehari-hari. Kata palum kerap muncul dalam cerita rakyat dan obrolan santai di kampung.Â
Namun karena sifatnya yang lisan, banyak generasi muda mulai kurang mengenal, terutama saat banyak kata Pakpak mulai tergerus oleh bahasa perekat nasional dan teknologi modern.
Dalam lingkup antropologi bahasa, mempertahankan kosakata semacam palum menjadi esensial sebagai bagian dari pelestarian identitas budaya. Ia menghubungkan generasi sekarang dengan leluhur, sekaligus memperkaya ragam ungkapan bahasa Indonesia apabila kata tersebut diadopsi secara resmi.Â
Dengan demikian, apabila palum berhasil diresmikan sebagai lawan kata "haus" di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ia akan menjadi jembatan simbolik antara warisan lokal dan bahasa nasional.