Memasukkan kata dari bahasa daerah ke dalam KBBI bukanlah hal instan. Prosesnya panjang, dimulai dengan pengumpulan bukti penggunaan kata.Â
Para akademisi dan peneliti yang fokus pada bahasa Pakpak perlu mencatat keberadaan kata palum dalam berbagi sumber: wawancara lisan generasi tua, cerpen atau pantun tradisional Pakpak, hingga rekam jejak media lokal. Bukti penggunaan yang kuat memperkuat argumen bahwa kata itu memang memiliki fungsi dan makna yang valid secara linguistik.
Setelah pengumpulan bukti, langkah berikutnya adalah mendokumentasikan makna dan bentuk kata sesuai standar penulisan KBBI: bunyi, ejaan, arti ringkas dan jelas, serta contoh kalimat.Â
Sebagai contoh, "Sesudah minum, saya merasa palum," menunjukkan konteks alamiah penggunaan kata dalam bahasa sehari-hari.Â
Selanjutnya, proposal resmi diajukan kepada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, lembaga di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang berwenang melakukan validasi kata baru.
Jika proposal diterima, kata palum akan melalui tahapan evaluasi internal untuk memastikan kesesuaian makna dan penggunaannya, lalu masuk ke dalam edisi baru KBBI cetak maupun daring.Â
Meskipun tidak cepat, proses ini membuka jalan agar palum bukan hanya jadi cucu bahasa daerah, melainkan anak kandung bahasa nasional. Setelah menjadi bagian dari KBBI, publik dari seluruh Nusantara bisa mengakses makna palum, memahami asal-usulnya, serta menggunakannya dalam konteks yang tepat.
Makna Lebih Dekat: Kebanggaan Identitas dan Bahasa
Kalau akhirnya palum tampil di dalam KBBI, lebih dari sekadar penambahan kata. Bagi masyarakat Pakpak, ini adalah pengakuan identitas yang membanggakan.Â
Bahasa daerah sering kali terpinggirkan karena banyak kata dianggap lokal dan tidak masuk ranah formal. Kenyataannya, ada ribuan kosakata lokal di seluruh Indonesia yang belum tercatat secara resmi.Â
Ketika satu kata seperti palum diakui, ini menyiratkan bahwa setiap kosakata lokal punya nilai yang sama untuk dimasukkan dalam narasi bahasa nasional.
Pengakuan kata juga memberi sinyal bahwa bahasa Indonesia sungguh menerima kekayaan budaya pluralistik bangsa. Tidak ada dominasi satu wilayah atau satu kosakata di atas lainnya, melainkan setiap suku punya ruang setara dalam kamus bersama. Masyarakat muda Pakpak pun akan bangga melihat warisan budaya mereka diakui secara formal dan tersebar luas.