Mohon tunggu...
Julianda Boang Manalu
Julianda Boang Manalu Mohon Tunggu... ASN pada Pemerintah Kota Subulussalam, Aceh

Penulis buku "Eksistensi Keuchik sebagai Hakim Perdamaian di Aceh".

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

"Palum" dan Kiprah Bahasa Pakpak dalam Bahasa Nasional

5 Agustus 2025   17:21 Diperbarui: 6 Agustus 2025   16:45 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi arti kata Palum. (Foto: KOMPAS.COM/SOFFYARANTI)

Indonesia begitu kaya akan bahasa daerah yang menjalin cerita dan identitas setiap suku. Salah satunya adalah suku Pakpak dari Sumatera Utara yang memiliki kosakata khas, salah satu yang unik dan penuh makna adalah kata "palum". 

Kata ini secara budaya telah lama digunakan sebagai lawan kata dari haus. Bagi masyarakat Pakpak, "palum" bukan sekadar kata, ia adalah perwujudan pemahaman terhadap rasa dan keadaan tertentu yang lazim dalam kehidupan sehari-hari.

Bila kita sedang merasa haus, kita akan mencari air untuk minum. Dari situlah kemudian lahirlah kebutuhan unsur bahasa yang menunjukkan kebalikannya: tanda sudah tidak haus, atau rasa yang tenang setelah minum. Di sinilah peran kata palum yang telah menjadi bagian integral dari cara bicara masyarakat Pakpak. 

Menulis tentang palum bukan sekadar memperkenalkan kata baru, tetapi merayakan identitas, budaya, dan upaya memperluas ruang kosakata bahasa Indonesia.

Sejarah dan Makna Budaya "Palum"

Kata palum berasal dari bahasa lisan masyarakat Pakpak yang selama ini diturunkan secara turun-temurun secara informal, dalam percakapan sehari-hari, terutama saat berbicara tentang kondisi setelah minum. Secara makna, palum menyiratkan keadaan 'tidak haus lagi', atau 'kenyang minum', perasaan nyaman ketika dahaga telah sirna. 

Makna itu mengandung makna fisik sekaligus emosional: bukan hanya kebutuhan tubuh yang terpenuhi, tetapi juga ketenangan batin setelah kebutuhan dasar mendapatkan respons.

Dari perspektif sejarah, masyarakat Pakpak memiliki tradisi kaya dalam sistem kata, pantun, dan nyanyian lokal yang menyertakan kata-kata khusus dari kehidupan sehari-hari. Kata palum kerap muncul dalam cerita rakyat dan obrolan santai di kampung. 

Namun karena sifatnya yang lisan, banyak generasi muda mulai kurang mengenal, terutama saat banyak kata Pakpak mulai tergerus oleh bahasa perekat nasional dan teknologi modern.

Dalam lingkup antropologi bahasa, mempertahankan kosakata semacam palum menjadi esensial sebagai bagian dari pelestarian identitas budaya. Ia menghubungkan generasi sekarang dengan leluhur, sekaligus memperkaya ragam ungkapan bahasa Indonesia apabila kata tersebut diadopsi secara resmi. 

Dengan demikian, apabila palum berhasil diresmikan sebagai lawan kata "haus" di Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ia akan menjadi jembatan simbolik antara warisan lokal dan bahasa nasional.

Perjalanan Menuju Pengakuan Resmi dalam Bahasa Indonesia

Memasukkan kata dari bahasa daerah ke dalam KBBI bukanlah hal instan. Prosesnya panjang, dimulai dengan pengumpulan bukti penggunaan kata. 

Para akademisi dan peneliti yang fokus pada bahasa Pakpak perlu mencatat keberadaan kata palum dalam berbagi sumber: wawancara lisan generasi tua, cerpen atau pantun tradisional Pakpak, hingga rekam jejak media lokal. Bukti penggunaan yang kuat memperkuat argumen bahwa kata itu memang memiliki fungsi dan makna yang valid secara linguistik.

Setelah pengumpulan bukti, langkah berikutnya adalah mendokumentasikan makna dan bentuk kata sesuai standar penulisan KBBI: bunyi, ejaan, arti ringkas dan jelas, serta contoh kalimat. 

Sebagai contoh, "Sesudah minum, saya merasa palum," menunjukkan konteks alamiah penggunaan kata dalam bahasa sehari-hari. 

Selanjutnya, proposal resmi diajukan kepada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, lembaga di bawah Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang berwenang melakukan validasi kata baru.

Jika proposal diterima, kata palum akan melalui tahapan evaluasi internal untuk memastikan kesesuaian makna dan penggunaannya, lalu masuk ke dalam edisi baru KBBI cetak maupun daring. 

Meskipun tidak cepat, proses ini membuka jalan agar palum bukan hanya jadi cucu bahasa daerah, melainkan anak kandung bahasa nasional. Setelah menjadi bagian dari KBBI, publik dari seluruh Nusantara bisa mengakses makna palum, memahami asal-usulnya, serta menggunakannya dalam konteks yang tepat.

Makna Lebih Dekat: Kebanggaan Identitas dan Bahasa

Kalau akhirnya palum tampil di dalam KBBI, lebih dari sekadar penambahan kata. Bagi masyarakat Pakpak, ini adalah pengakuan identitas yang membanggakan. 

Bahasa daerah sering kali terpinggirkan karena banyak kata dianggap lokal dan tidak masuk ranah formal. Kenyataannya, ada ribuan kosakata lokal di seluruh Indonesia yang belum tercatat secara resmi. 

Ketika satu kata seperti palum diakui, ini menyiratkan bahwa setiap kosakata lokal punya nilai yang sama untuk dimasukkan dalam narasi bahasa nasional.

Pengakuan kata juga memberi sinyal bahwa bahasa Indonesia sungguh menerima kekayaan budaya pluralistik bangsa. Tidak ada dominasi satu wilayah atau satu kosakata di atas lainnya, melainkan setiap suku punya ruang setara dalam kamus bersama. Masyarakat muda Pakpak pun akan bangga melihat warisan budaya mereka diakui secara formal dan tersebar luas.

Bahasa bukan hanya soal makna, tapi juga soal sejarah, memori, dan akar budaya. Kata palum menyimpan jejak rasa, pengalaman hidup sehari-hari, dan sikap kebersamaan. 

Dengan menyertakannya dalam KBBI, arti Sunda Jawa Bali juga telah terakomodasi sebelumnya---mengapa tidak kata-kata Pakpak? 

Nilai pluralisme bahasa adalahmenjaga setiap kosakata dari sabang sampai merauke agar punya tempat dalam bahasa nasional. Dan palum adalah salah satu pintu konkret menuju pluralisme itu.

Saat tulisan ini hadir, saya membayangkan seseorang di Ibukota yang bertanya, "Apa arti 'palum'?" dan menemukan jawabannya di KBBI daring. Sang penanya lalu tersenyum, menyadari bahwa satu kata kecil dari tanah Pakpak telah merembet ke ranah nasional. 

Saudaranya di Papua atau Kalimantan pun bisa memahami, bahkan menggunakan, barangkali tanpa menyadari asal usul suku kata itu. Itulah kekuatan bahasa yang inklusif: mampu menyatukan sekaligus memelihara keberagaman.

Bayangkan juga ketika guru di sekolah membaca KBBI lalu memberi contoh penggunaan kata palum, menjelaskan asalnya dari bahasa Pakpak, lalu siswa menyimak dengan rasa kagum: "Ternyata Pakpak punya kata seperti itu." 

Sejenak dunia lokal tampil di tengah kurikulum nasional. Dan anak-anak muda, terutama yang berdarah Pakpak, bangga karena bahasa mereka punya pengaruh nyata dalam bahasa umum.

Bahasa berkembang bersama masyarakatnya. Pembicaraan mengenai palum menjadi momentum yang indah: penggalan warisan lisan berubah menjadi bagian struktur bahasa tertulis. 

Proses ini juga membuka peluang bagi kata-kata lain dari bahasa Pakpak atau bahasa daerah lain untuk segera diperhatikan. Bila palum diterima dalam KBBI, maka tak ada alasan menutup pintu untuk saudara-saudara kita dari berbagai suku memajukan kosakata mereka ke ranah nasional secara sah.

Dalam banyak hal, kebanggaan itu sederhana: saat satu kata dari leluhur kita tercatat di kamus bahasa Indonesia. Ia bukan sekadar simbol bahasa, tetapi simbol cinta, identitas, dan harapan agar budaya lokal tetap relevan dan dihormati. Dengan demikian, palum menjelma menjadi simbol kecintaan terhadap bahasa dan akar budaya lokal.

Penutup

Bahwa dalam satu kata kecil---palum---tersimpan keinginan besar: agar warisan budaya Pakpak diakui dan dilestarikan. Agar generasi muda mengenang dan memelihara bahasa asli leluhur. Agar Indonesia lebih kaya, tidak hanya dalam bahasa tetapi dalam makna, akhlak, dan rasa. 

Bila kelak Kamus Besar Bahasa Indonesia menampilkan kata palum di samping haus, itu bukan sekadar entri kamus baru, melainkan titik harmoni antara suku Pakpak dan bahasa nasional. 

Itu bukti bahwa dari akar budaya lokal, kita semua bisa minum makna dalam bahasa yang satu. Karena palum adalah lebih dari sekadar lawan kata haus---ia adalah lambang kebanggaan, warisan, dan masa depan bahasa yang inklusif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun