Bahasa bukan hanya soal makna, tapi juga soal sejarah, memori, dan akar budaya. Kata palum menyimpan jejak rasa, pengalaman hidup sehari-hari, dan sikap kebersamaan.Â
Dengan menyertakannya dalam KBBI, arti Sunda Jawa Bali juga telah terakomodasi sebelumnya---mengapa tidak kata-kata Pakpak?Â
Nilai pluralisme bahasa adalahmenjaga setiap kosakata dari sabang sampai merauke agar punya tempat dalam bahasa nasional. Dan palum adalah salah satu pintu konkret menuju pluralisme itu.
Saat tulisan ini hadir, saya membayangkan seseorang di Ibukota yang bertanya, "Apa arti 'palum'?" dan menemukan jawabannya di KBBI daring. Sang penanya lalu tersenyum, menyadari bahwa satu kata kecil dari tanah Pakpak telah merembet ke ranah nasional.Â
Saudaranya di Papua atau Kalimantan pun bisa memahami, bahkan menggunakan, barangkali tanpa menyadari asal usul suku kata itu. Itulah kekuatan bahasa yang inklusif: mampu menyatukan sekaligus memelihara keberagaman.
Bayangkan juga ketika guru di sekolah membaca KBBI lalu memberi contoh penggunaan kata palum, menjelaskan asalnya dari bahasa Pakpak, lalu siswa menyimak dengan rasa kagum: "Ternyata Pakpak punya kata seperti itu."Â
Sejenak dunia lokal tampil di tengah kurikulum nasional. Dan anak-anak muda, terutama yang berdarah Pakpak, bangga karena bahasa mereka punya pengaruh nyata dalam bahasa umum.
Bahasa berkembang bersama masyarakatnya. Pembicaraan mengenai palum menjadi momentum yang indah: penggalan warisan lisan berubah menjadi bagian struktur bahasa tertulis.Â
Proses ini juga membuka peluang bagi kata-kata lain dari bahasa Pakpak atau bahasa daerah lain untuk segera diperhatikan. Bila palum diterima dalam KBBI, maka tak ada alasan menutup pintu untuk saudara-saudara kita dari berbagai suku memajukan kosakata mereka ke ranah nasional secara sah.
Dalam banyak hal, kebanggaan itu sederhana: saat satu kata dari leluhur kita tercatat di kamus bahasa Indonesia. Ia bukan sekadar simbol bahasa, tetapi simbol cinta, identitas, dan harapan agar budaya lokal tetap relevan dan dihormati. Dengan demikian, palum menjelma menjadi simbol kecintaan terhadap bahasa dan akar budaya lokal.
Penutup
Bahwa dalam satu kata kecil---palum---tersimpan keinginan besar: agar warisan budaya Pakpak diakui dan dilestarikan. Agar generasi muda mengenang dan memelihara bahasa asli leluhur. Agar Indonesia lebih kaya, tidak hanya dalam bahasa tetapi dalam makna, akhlak, dan rasa.Â