Suatu sore di sebuah kota kecil di Indonesia, Lina, seorang wanita berusia 62 tahun, memutuskan menghentikan pernikahan yang sudah berjalan empat dekade. Bukan karena pengkhianatan besar atau keinginan meninggalkan keluarga, tetapi karena hatinya sudah lelah --- ia merasa tak lagi mengenali dirinya sendiri dalam relasi yang selama ini selalu ia layani lebih dahulu.Â
Keputusan itu membuat banyak orang heran, bahkan mengucurkan bisikan: "Kok di usia senja malah bercerai?"
Banyak yang menganggap perceraian adalah titik kegagalan terakhir. Apalagi ketika sudah hidup bersama selama puluhan tahun, masyarakat cenderung beranggapan bahwa konflik seharusnya sudah terselesaikan dan cinta telah matang.Â
Namun bagi Lina, keputusan itu adalah titik awal sebuah perjalanan baru---sebuah upaya merawat hati sendiri, menemukan kembali kebebasan yang hilang, dan menghadapi masa tua bukan sebagai kesepian, melainkan sebagai kesempatan mencintai diri sendiri.
Dalam masyarakat Indonesia yang sangat menjunjung nilai pernikahan dan kebersamaan, "self-love" lewat perceraian mungkin terdengar kontradiktif. Meski begitu, fenomena grey divorce (perceraian di usia 50 tahun ke atas) semakin mendapat perhatian sebagai refleksi bahwa pernikahan yang lama tidak selalu menjamin kebahagiaan abadi.Â
Menurut data Pengadilan di Palembang, faktor-faktor seperti ketidakharmonisan emosional menjadi alasan utama perpisahan di usia lanjut, meskipun pasangan cenderung menunda perceraian demi menjaga citra keluarga atau demi anak-anak. (ResearchGate)
Praktik Self-Love Setelah Perceraian
Setelah pintu pernikahan ditutup, perjalanan menyembuhkan diri pun dimulai. Salah satu fondasi penting dari proses ini adalah self-compassion --- kemampuan memberi kebaikan kepada diri sendiri, bukan menghukum.Â
Ketika seseorang mampu berkata, "Aku berhak bahagia," daripada terus-terusan menyalahkan dirinya, proses pemulihan emosional bisa berjalan lebih ringan. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat self-compassion yang tinggi berkorelasi dengan pemulihan emosional lebih cepat setelah perceraian. (psychologicalscience.org)
Namun self-compassion saja belum cukup. Penting pula menetapkan batasan baru --- dalam relasi, interaksi sosial, dan tuntutan eksternal.Â
Selama bertahun-tahun, seseorang mungkin terbiasa memprioritaskan kebutuhan pasangan atau keluarga; setelah perceraian, mereka perlu belajar berkata "tidak" pada hal-hal yang memicu stres atau menyakiti. Dengan batasan sehat, perlindungan emosional bagi diri sendiri makin terjaga.