Ada masa ketika cinta terasa sederhana. Waktu masih berdua, semua hal tampak indah: jalan sore berdua di taman, duduk di warung kopi sambil berbagi cerita tentang masa depan, atau menunggu pesan "sudah makan belum?" yang terasa manis sekali.Â
Tapi setelah tiga anak hadir, cinta itu seperti berubah bentuk. Ia tidak lagi berdandan dengan kata-kata manis, tapi hadir lewat tindakan kecil yang sering luput disadari.
Kini, cinta itu ada dalam bentuk siapa yang rela bangun lebih pagi untuk menyiapkan bekal sekolah. Cinta itu juga hadir dalam cara kami saling mengingatkan agar tidak lupa membayar tagihan listrik, atau dalam pandangan mata yang sama-sama lelah tapi masih memilih tersenyum.Â
Kadang saya berpikir, mungkin inilah bentuk cinta yang paling nyata --- cinta yang tidak lagi berbunga-bunga, tapi berakar kuat di tanah kehidupan sehari-hari.
Cinta yang Berevolusi: Dari Romantis ke Realistis
Ketika kami baru menikah, dunia terasa seperti panggung romantis. Makan malam dengan lilin, kejutan kecil di hari ulang tahun, atau ucapan manis sebelum tidur jadi bagian dari keseharian.Â
Tapi perlahan, semua itu bergeser. Seiring hadirnya anak pertama, lalu kedua, dan akhirnya ketiga, kami mulai memahami bahwa cinta juga punya fase pertumbuhan. Ia tidak bisa selamanya berlarian di taman bunga. Ada saatnya ia harus belajar menembus badai.
Perubahan itu terasa nyata. Kami tidak lagi punya banyak waktu untuk berdua seperti dulu. Bahkan untuk duduk menonton film saja rasanya seperti kemewahan. Tapi justru di situlah saya menyadari bahwa cinta tidak menghilang, hanya berubah bentuk.Â
Dulu cinta hadir dalam bentuk kejutan, kini ia hadir dalam bentuk kerja sama. Dulu cinta terasa seperti lagu romantis, sekarang lebih seperti irama langkah dua orang yang berusaha berjalan beriringan di jalan panjang kehidupan.
Saya pernah membaca tulisan psikolog keluarga, John Gottman, yang mengatakan bahwa keberhasilan pernikahan bukan diukur dari seberapa sering pasangan merasa bahagia, tapi seberapa mampu mereka menghadapi ketidakbahagiaan bersama.Â
Kutipan itu terasa sangat dekat dengan kehidupan kami. Tidak semua hari indah. Ada hari-hari penuh letih, ketika saya dan istri saling diam karena sama-sama kehabisan tenaga.Â