Anak-anak kita hari ini mungkin lebih kenal hamburger, pizza, atau mi instan, ketimbang jagung bose dari Nusa Tenggara Timur, atau papeda dari Papua. Bahkan, banyak yang menganggap makanan lokal "kurang menarik" dibanding menu modern yang dianggap lebih praktis dan kekinian.Â
Pertanyaannya, apakah ini berarti makanan lokal memang sudah tak punya tempat di hati generasi muda?
Sekolah, yang seharusnya menjadi ruang edukasi dan pembiasaan, justru sering menghadirkan menu seragam yang tidak mewakili keragaman pangan daerah. Padahal, di balik setiap piring makanan lokal, tersimpan cerita panjang tentang tanah, budaya, dan identitas.Â
Makanan bukan sekadar soal kenyang, tapi juga soal siapa diri kita dan dari mana kita berasal.
Bayangkan jika anak-anak di Jawa disuguhi tiwul, atau di Maluku terbiasa dengan papeda. Tentu mereka tidak hanya belajar mengunyah makanan sehat, tapi juga belajar tentang jati diri daerahnya sendiri. Dari piring sederhana, anak-anak sebenarnya sedang membangun cinta pada daerah, bahkan bangsa.
Lalu, mengapa sekolah jarang menaruh perhatian serius pada makanan lokal? Mengapa kita lebih sering menjadikan pangan daerah hanya sebagai simbol, bukan bagian dari kebiasaan harian? Pertanyaan-pertanyaan ini layak dijawab, agar kita tidak kehilangan warisan paling sederhana: rasa.
Pangan Lokal yang Terpinggirkan
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa pangan lokal memang cenderung terpinggirkan. Di banyak sekolah, kantin lebih memilih menjual makanan cepat saji, mi instan, hingga jajanan berwarna-warni yang lebih disukai anak. Makanan tradisional jarang terlihat, bahkan sering dianggap kuno atau tidak praktis.
Hal ini sejalan dengan penelitian Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian (2022) yang mencatat bahwa konsumsi beras di Indonesia masih mendominasi hingga 114 kilogram per kapita per tahun, sedangkan pangan alternatif seperti jagung, sagu, dan umbi-umbian jauh di bawah angka tersebut.Â
Artinya, ketergantungan pada satu sumber karbohidrat masih sangat kuat, dan sekolah pun ikut mereproduksi pola ini.
Selain itu, orang tua kadang merasa repot jika harus menyiapkan bekal berbasis pangan lokal. Membuat nasi sudah dianggap paling mudah, sedangkan mengolah jagung bose atau singkong dianggap memakan waktu lebih lama. Praktis menjadi kata kunci, sementara nilai gizi dan budaya sering terabaikan.
Tak heran, anak-anak tumbuh dengan persepsi bahwa makanan modern lebih enak, lebih keren, dan lebih "zaman now". Padahal, yang membuat makanan modern menarik bukan semata rasanya, melainkan cara penyajiannya yang kreatif dan berhasil menyentuh selera visual serta emosi anak.